Posted in

Roti, Resep, dan Rasa Setara

Roti, Resep, dan Rasa Setara
Roti, Resep, dan Rasa Setara

Kemarin saya duduk bersama seorang teman lama di sebuah kedai kopi. Dia bercerita panjang lebar—bukan tentang cinta, tapi soal bisnis. Lebih tepatnya, soal bisnis toko kue yang dia bangun bersama seorang rekannya. Ceritanya menarik, penuh pelajaran, dan sedikit pahit, seperti cokelat pekat di lapisan brownies buatan mereka.

Teman saya memang punya passion besar di dunia baking. Resep-resepnya sudah diuji waktu, dan katanya, selalu laku keras kalau dibawa ke acara keluarga atau arisan. Jadi, ketika akhirnya dia memutuskan untuk membuka toko kue sendiri, semua orang mendukung. Tapi karena sadar membangun bisnis itu bukan cuma soal rasa, dia ajak seorang teman, sebut saja namanya Bimo, untuk join.

Bimo ini, bukan ahli baking, bukan juga investor bermodal besar. Tapi dia punya satu hal yang penting di awal bisnis kecil: kerajinan. Dia rajin, sigap, dan mau belajar. Dan bagi teman saya, itu sudah cukup—terlebih karena niat awal partnership-nya sebenarnya agak “licik”. Dia butuh partner, iya, tapi juga berharap bisa dapat semacam “karyawan gratis”. Toh kalau partner, nggak perlu digaji di awal, kan?

Mulailah mereka berdua membangun dari nol. Resep dari teman saya, tenaga dan waktu dari keduanya. Bimo diajari cara bikin kue, lalu pelan-pelan belajar soal promosi, iklan, bahkan endorse di media sosial. Bisnisnya pun tumbuh. Kecil, tapi stabil. Akhirnya mereka mulai bisa menggaji diri sendiri. Tapi di sinilah badai kecil mulai berputar.

Teman saya masih merasa jadi “bos besar”. Rekening dipegang sendiri, keputusan diambil sendiri, bahkan soal gaji pun kadang sesuka hati: gaji cair kalau dia butuh. Bimo beberapa kali keluar uang sendiri buat endorse dan lupa minta reimburse, tapi kalau giliran teman saya, langsung diklaim. Bimo juga sudah beberapa kali ngasih ide, tapi sering ditolak karena dianggap belum ngerti proses kue dan dapur.

Sampai akhirnya titik puncaknya datang. Saat teman saya menikah dan harus off dari bisnis selama dua bulan, Bimo yang pegang semua kendali. Dari produksi sampai promosi. Dia pegang toko. Dia jalankan semua. Dan ketika teman saya kembali, Bimo sudah letih. Dia bilang, “Gue capek. Rasanya kayak jadi karyawan murahan.” Lalu dia mengancam akan keluar dan buka toko kue sendiri.

Teman saya kaget. Panik, tentu. Karena sekarang dia sadar: bisnis ini bisa jalan bukan cuma karena resep, tapi karena ada Bimo yang membesarkannya. Dia memang jago bikin kue, tapi Bimo yang bikin orang datang beli.

Saya, sebagai teman yang dengerin cerita ini sambil nyeruput kopi, cuma bisa senyum miring. Saya bilang, “Yah, dari awal aja udah salah niat. Mau partner, tapi mikirnya karyawan. Mau kerja bareng, tapi ga setara.”

Lalu saya kasih satu saran sederhana: minta maaf. Habis itu, duduk bareng, bikin ulang perjanjian partnership yang benar. Hitung ulang kontribusi. Buat semua transparan. Biar bisnis ini gak cuma enak kuenya, tapi juga adil prosesnya.

Karena dalam bisnis, rasa itu penting. Tapi rasa setara—itu yang bikin bertahan.


Photo by David Holifield on Unsplash