Posted in

Rumah di Balik Bayangan

Rumah di Balik Bayangan
Rumah di Balik Bayangan

Namaku Ratna, seorang ibu dari empat anak—tiga putri dan satu putra. Hidupku, di mata banyak orang, tampak sempurna. Aku tinggal di rumah nyaman dengan ruko tiga pintu dan dua mobil di garasi: satu Fortline, satu pick-up. Suamiku, Gilang, dikenal sebagai pria pekerja keras, alim, dermawan, dan sukses. Tak ada yang menyangka apa yang sebenarnya terjadi di balik pintu rumah kami.

Kami menikah hampir lima belas tahun. Gilang adalah pria yang merantau ke kotaku dan kami bertemu saat dia masih jadi karyawan sebuah perusahaan. Tak lama setelah menikah, dia membuka usaha sendiri, dan dari situlah roda kehidupan kami perlahan berubah: naik, pelan tapi pasti.

Di mataku, Gilang sosok yang gigih. Sejak muda, katanya dia jadi kuli panggul hasil panen dari sawah ke mobil demi makan dan sekolah. Aku percaya itu, bahkan mengaguminya. Tapi sikap hematnya lama-lama jadi pelit. Aku tak diberi uang belanja lebih dari Rp150 ribu seminggu untuk makan kami berlima. Tak ada perhiasan, tak ada pegangan uang, dan penampilanku seadanya.

Selama bertahun-tahun, aku sering sakit. Badan lemas, kepala berat, wajah cepat menua. Tapi tiap kali ke dokter, katanya hanya penyakit ringan. Aku merasa tak masuk akal. Hingga aku mencari jalan lain: pengobatan alternatif. Dan dari situlah tabir kegelapan mulai terbuka.


Aku tak akan lupa malam itu. Seorang perawat spiritual menyentuh tanganku, menutup matanya, lalu berkata, “Banyak sekali yang bersarang di tubuhmu, Bu…”

Aku tertawa kecil, tidak percaya. Tapi saat dia melanjutkan, tubuhku gemetar. Dia menyebut nama-nama makhluk yang selama ini hanya ada di cerita rakyat: genderuwo, kuntilanak merah dan putih, tuyul, pocong hitam.

“Mereka menempel padamu… atas izin suamimu sendiri.”

Aku tercekat. “Maksudnya?”

Ia mengangguk. “Salah satu dari mereka… bahkan telah berhubungan denganmu… seperti seorang suami.”

Rasanya seperti seluruh udara di ruangan itu menghilang. Napasku sesak. Jantungku berdentum seperti genderang perang.


Aku mulai menyelidiki. Diam-diam. Gilang memang tak tahu aku sudah tahu. Tapi setiap malam, mimpi-mimpi buruk datang. Aku melihat wajah-wajah mengerikan, dan tubuhku seperti ditarik-tarik. Kadang ada suara-suara berbisik saat aku sendiri. Kadang bau busuk muncul entah dari mana.

Yang lebih menyakitkan: dua kali kehamilan kosong yang kualami ternyata… bukan kegagalan biasa. Dari penuturan sang perawat spiritual, tuyul-tuyul yang dipelihara suamiku memakan janin dalam rahimku.

Aku menahan air mata. Aku hancur. Tapi aku belum bisa kabur. Aku tidak punya uang sepeser pun. Dan anak-anakku… bagaimana kalau mereka bertanya, “Kenapa Bapak nggak ada, Bu?”

Tapi satu hal yang kini kutahu pasti: aku harus lepas. Aku harus melindungi anak-anakku, diriku, dan ruh kami semua dari ikatan yang tidak terlihat namun nyata ini.


Photo by bishal kumar on Unsplash