Posted in

Rumah di Dua Desa

Rumah di Dua Desa
Rumah di Dua Desa

Bagian 1: Di Balik Senyum Legowo

Tak pernah terpikir olehku, bahwa kisah rumah tangga mertuaku akan begitu berliku. Suamiku, Damar, anak dari istri pertama Bapak Marwan. Dan Bapak Marwan… beliau pria yang punya dua rumah—satu di sisi Bu Sarni, satu lagi di sisi Lastri, perempuan yang dulu katanya hanya “teman dekat”, lalu jadi istri kedua.

Damar selalu bilang, “Sudahlah, kita jalani saja. Ikhlaskan.” Tapi aku, Rana, tak bisa sepenuhnya diam. Hatiku bergolak tiap kali melihat ketimpangan perlakuan.

Jika Bapak Marwan kehabisan uang, yang dihubungi selalu Damar atau Bu Sarni. Padahal, waktu beliau ada rezeki lebih, yang dibagi malah Lastri dan anak-anaknya. Bahkan, waktu dapat uang lumayan dari jual tanah—tanah yang dulu dibeli juga pakai duit Bu Sarni—hasilnya malah dipakai untuk membeli motor dan membangun rumah buat Lastri.

Tiga motor. Tiga!

Dan satu rumah untuk Lastri. Berdiri kokoh di desa sebelah.

Aku muak.


Bagian 2: Tanah yang Hilang dan Janji yang Gantung

Lalu datanglah rencana besar: anak Lastri, si Tirta, mau masuk TNI. Untuk itu, rumah peninggalan suamiku—rumah kecil di belakang rumah mertua—dijual. Kesepakatan lisan dibuat, bahwa setelah Tirta jadi TNI, uang hasil penjualan itu akan dikembalikan ke Damar.

Aku sudah wanti-wanti. “Bilang, bang! Tulis perjanjian. Hitam di atas putih!”

Tapi Damar diam saja. “Nggak enak sama Bapak.”

“Yang enak itu kalau kamu bisa jaga hak istrimu, hak ibumu, Bang!”

Kini, sudah hampir setahun. Tirta kabarnya sudah masuk pelatihan. Dan uang itu? Entah ke mana. Tak ada sepatah pun kabar soal pengembalian.

Aku geram bukan main. Tapi siapa yang mendengarkan?


Bagian 3: Sawah, Beras, dan Gundik yang Tak Tahu Diri

Sisa uang Bu Sarni—uang dari hasil penjualan tanah—dipakai menyewa sawah. Ditanam padi dengan susah payah. Panen akhirnya tiba.

Tapi apa yang terjadi?

Bapak Marwan dengan entengnya membagi hasil panen ke rumah Lastri. Iya, rumah yang dibangun dari uang hasil jual tanah juga.

Bu Sarni cuma senyum. “Ya sudah, buat amal.”

Aku tahu hatinya. Dia luka, tapi terlalu mulia untuk membalas. Sedangkan Lastri? Masih saja sibuk menjelek-jelekkan Bu Sarni ke tetangga. Lidahnya tajam, jari-jarinya ringan mengetik cerita yang dibolak-balik.


Bagian 4: Oleh-oleh dan Muka Tembok

Pernah suatu hari, aku dan keluarga datang ke rumah Bu Sarni. Kami bawa banyak oleh-oleh. Keripik, baju, makanan kering—semua dari kota. Bu Sarni, seperti biasa, membagi-bagikan dengan senyum hangat.

Dia bahkan bilang ke Bapak Marwan, “Ini tolong bawain juga buat Lastri ya. Sekalian kamu pulang, bawa.”

Tapi Bapak Marwan entah kenapa lama pulangnya. Belakangan, Lastri malah marah-marah. Katanya tidak dikasih bagian.

Aku cuma bisa ketawa kecil waktu dengar ceritanya.

“Lha, situ siapa? Udah ngambil suami orang, masih ngarep dikasih oleh-oleh dari istri pertama? Hadeuh…”


Photo by Harsh Dubey on Unsplash