Posted in

Rumah yang Tak Lagi Sama

Rumah yang Tak Lagi Sama
Rumah yang Tak Lagi Sama

Sudah lama aku tidak menuliskan cerita. Kali ini, bukan tentang diriku. Tapi tentang seseorang yang izinnya sudah kuterima, karena ia ingin suaranya didengar—walau lewat cerita orang lain. Cerita ini tentang poligami. Tentang betapa rumitnya menjadi istri yang dimadu. Tentang luka yang tak selalu tampak di permukaan.

Namanya sebut saja Mbak Laras. Dia saudara dari Mbak Lutfi, tetangga sebelah rumah. Beberapa hari lalu, Mbak Laras datang ke rumahku. Awalnya hanya silaturahmi biasa, tapi obrolan kami mengalir sampai akhirnya jadi curhat panjang lebar. Tentang rumah tangganya. Tentang luka yang belum selesai.

Rumah tangga Mbak Laras sudah berjalan hampir dua dekade. Ia dan suaminya memiliki empat orang anak. Anak sulung mereka sudah duduk di bangku kuliah. Hidup mereka dulunya bukan cerita manis. Belasan tahun penuh perjuangan. Ekonomi sulit. Pernah tidak punya apa-apa. Mbak Laras ikut membantu suaminya dari nol, terutama dengan keahliannya memasak. Usaha makanan kecil-kecilan mereka lama-lama tumbuh. Hingga enam tahun terakhir, kondisi keuangan mereka sangat membaik.

Namun, dua tahun lalu, hidup Mbak Laras berubah.

Suaminya, Pak Bram, mengenal seorang perempuan dari aplikasi pertemanan. Seorang janda beranak satu. Sebut saja Bu Syela. Syela adalah mualaf, ditinggal suaminya, dan bekerja di bidang keuangan. Dengan alasan ingin membimbing Syela dalam agama, sekaligus memanfaatkan keahliannya dalam urusan bisnis, Pak Bram meminta izin untuk menikah lagi.

Bagaimana tanggapan Mbak Laras?

Katanya, “Daripada diam-diam selingkuh, lebih baik minta izin. Setidaknya aku tahu dia di mana, dan dia tetap pulang ke rumah.”

Tapi nyatanya, tidak sesederhana itu.

Dalam prosesnya, Pak Bram sering berbohong. Mbak Laras tahu, komunikasi mereka lebih intens daripada sekadar bimbingan agama. Ia melihat sendiri, suaminya sering telepon berjam-jam, katanya ngajarin doa. Chat banyak yang dihapus. Hingga suatu hari, Mbak Laras menyadap WA suaminya. Dan dari situlah ia tahu: semua tak sebersih yang dikatakan Pak Bram.

Padahal, sebelum lamaran terjadi, Mbak Laras sudah beberapa kali memastikan: “Kamu yakin?” Suaminya bilang yakin, dan bahkan berjanji macam-macam. Honeymoon buat Mbak Laras, rumah atas namanya, perhatian lebih. Tapi semua itu lenyap. Tidak ada satu pun janji yang ditepati. Justru Mbak Laras yang harus mengurus seserahan, mencari mas kawin, bahkan mengatur katering. Ia menyiapkan pernikahan suaminya sendiri, dengan hati yang remuk redam.

Hari-harinya setelah itu seperti hidup sebagai robot. Tersenyum di depan suami, padahal menangis hampir tiap malam. Yang lebih menyakitkan lagi, ia dan Syela hamil hampir bersamaan. Hanya beda beberapa minggu. Tapi berbeda dengan kehamilan-kehamilan sebelumnya, kali ini Mbak Laras dilupakan. Pak Bram lebih banyak tinggal di rumah istri mudanya, dengan alasan Syela hanya sendiri dengan anak kecil.

Mbak Laras marah. Ia sudah pernah bilang, kalau hamil lagi, ia butuh perhatian penuh. Ia tipe ibu hamil yang selalu mabuk parah. Makanan tak bisa masuk. Tapi perhatian itu tidak ada. Yang ada hanya rasa sepi, dan akhirnya… keguguran.

Kehilangan itu makin menghancurkan Mbak Laras. Apalagi setelah tahu bahwa ia harus disteril. Tidak bisa punya anak lagi. Dari situlah depresinya bermula. Ia sempat drop berat, hingga sekarang pun masih harus ke psikiater jika emosinya mulai naik-turun.

Apakah suaminya menyesal?

Entahlah. Yang jelas, ia tetap hidup seolah semua baik-baik saja. Bahkan istri mudanya, Syela, sebenarnya tidak pernah macam-macam. Ia sering mengirim makanan ke rumah Mbak Laras, apalagi setelah tahu Mbak Laras jarang masak pasca-keguguran. Tapi bukan Syela yang jadi masalah. Bukan. Masalahnya ada pada Pak Bram, yang tidak pernah benar-benar mendengar Mbak Laras.

“Poligami itu yang bahagia cuma dua orang,” kata Mbak Laras lirih waktu itu. “Suami dan madunya. Istri pertama? Di luar kelihatan ikhlas. Tapi di dalam, hancur.”

Kini, anak-anak mereka masih tetap baik-baik saja, walaupun sesekali bertanya, “Ayah tidur di rumah siapa malam ini?” dan sedih karena harus berbagi waktu.

Belakangan, Mbak Laras mulai mempertimbangkan untuk bercerai. Katanya, “Aku kira dia tetap akan jadi rumahku. Tapi ternyata aku salah. Rumah itu sudah nggak ada.”

Mungkin, bagi sebagian orang, ini soal ‘berbesar hati’. Tapi bagi Mbak Laras, ini tentang kehilangan arah. Tentang cinta yang dulu bertahan meski tak ada apa-apa. Tentang pengkhianatan yang datang setelah semua sudah dimiliki.

Dan kami—aku dan Mbak Lutfi—hanya bisa menemaninya. Mendengarkan. Mendoakan. Memberinya ruang untuk menguat. Kami tahu, ini bukan soal bertahan atau tidak. Ini soal menyembuhkan hati yang luka. Pelan-pelan.

Mungkin suatu hari, cerita ini akan selesai dengan cara yang indah. Tapi hari ini, kami hanya bisa berkata: “Kamu kuat, Mbak Laras. Tapi kamu juga berhak istirahat.”


Photo by firman fatthul on Unsplash