Posted in

Satu Kata Nggak

Satu Kata Nggak
Satu Kata Nggak

Namaku R. Umur 33 tahun. Tinggal di kota kecil di Jawa Tengah, kerja sebagai supervisor logistik di sebuah perusahaan swasta. Gaji bulanan Rp9,5 juta. Rumah masih cicilan KPR—tinggal satu setengah tahun lagi lunas. Harusnya, hidupku sekarang udah bisa dibilang stabil.

Tapi kenyataannya jauh dari tenang.

Sebab utamanya: istriku.

Awal nikah, aku nggak pernah mikir yang aneh-aneh. Dia seneng belanja? Ya udah. Aku pikir itu caranya menikmati hidup. Aku juga yakin, selama keuangan masih aman, semua bisa diatur. Tapi ternyata, yang nggak bisa diatur itu… dia sendiri.

Setiap bulan, gaji dibagi rapi:

  • KPR: 3 juta
  • Listrik, air, internet: 500 ribu
  • Kebutuhan pokok dan makan: 2 juta
  • Uang istri: 2 juta
  • Transport dan kebutuhan pribadi: 1 juta
  • Tabungan darurat: 1 juta

Tapi kenyataannya? Tabungan darurat itu selalu kepake. Bahkan kadang minus. Karena dia—istriku—gak pernah cukup. Belanja terus, selalu over-budget. Barang numpuk, katanya titipan temen, nanti dijual lagi. Tapi kenyataannya? Semua ngendap, gak kejual. Tagihan kartu kredit makin menggila. Limit awal 3 juta, naik jadi 6 juta, sekarang nyaris mentok di 10 juta.

Dan puncaknya… aku dapet email. Notifikasi pinjol. Rp18 juta. Atas nama dia. Ternyata… dia yang daftarin. Diam-diam. Tanpa bilang. Tanpa izin.

Aku marah. Tapi yang keluar dari mulutnya malah,

“Kamu juga gak kasih aku modal lebih. Gaji kamu tuh pas-pasan, Mas.”

Pas-pasan?

Itu kata paling nyelekit yang pernah aku dengar.

Aku kerja dari pagi sampe malam, gak pernah ngeluh, semua demi bayar cicilan, listrik, makan, dan ya… belanja dia. Tapi dibilang pas-pasan?

Akhirnya aku cerita ke orangtuaku. Ibuku cuma duduk lama, lalu berkata pelan:

“Kamu kepala keluarga. Kalau istrimu gak bisa jaga keuangan, kamu yang harus pasang batas. Jangan sampai kamu habis sendiri.”

Itu malam pertama aku merasa… selama ini aku salah. Aku kira diam itu sabar. Tapi ternyata, diamku cuma bikin dia makin nyaman hidup seenaknya.

Besoknya, aku ajak dia duduk bareng.

“Mulai bulan depan, semua akses kartu kredit dan akun belanja aku pegang. Kamu tetap pegang uang bulanan, tapi gak ada tambahan di luar itu. Kalau kamu mau usaha, kita atur bareng. Tapi gak ada lagi utang diam-diam.”

Dia cuma diam. Mungkin kaget. Karena biasanya aku cuma ngeluh—lalu ngalah. Tapi kali ini, aku tegas.

Hari-hari setelah itu, rumah jadi dingin. Bukan karena AC. Tapi karena sikapnya. Dia jadi pendiam. Gak ngajak ngobrol, tapi juga gak marah terang-terangan. Sesekali nanya:

“Kamu gak percaya aku lagi ya?”

Dan aku jawab:

“Aku percaya. Tapi aku juga harus jaga rumah tangga kita.”

Aku tahu, dia sedang belajar menerima kenyataan: bahwa gak semua yang dia pengen bisa dia dapet saat itu juga. Dan aku juga belajar: jadi suami bukan cuma soal kasih, tapi juga soal ngatur. Bukan buat ngontrol, tapi buat nyelametin.

Sudah tiga bulan sejak aku narik rem.

Sekarang, pengeluaran lebih stabil. Gak ada lagi tagihan dadakan. Barang belanjaan mulai berkurang. Hubungan kami belum kembali sehangat dulu. Tapi… lebih tenang. Lebih nyata. Aku bisa tidur tanpa khawatir ada utang baru yang nongol besok pagi.

Pelan-pelan, dia juga mulai berubah. Gak drastis. Tapi aku lihat usahanya.

Dan aku sadar, jadi suami bukan soal siapa yang paling sabar. Tapi siapa yang berani jaga arah. Kadang, satu kata “nggak” yang kita ucapin hari ini, bisa nyelametin sepuluh tahun ke depan.


Photo by Alexander Grey on Unsplash