Posted in

Sepucuk Surat di Ujung Waktu

Sepucuk Surat di Ujung Waktu
Sepucuk Surat di Ujung Waktu

Part 1

Namanya Lira. Seorang perempuan yang tumbuh dengan keyakinan bahwa cinta, jika dirawat dengan kesetiaan dan kesabaran, akan berbuah bahagia. Ia mengenal Dipa saat masih berseragam abu-abu di sebuah SMK di Purbalingga. Dipa sudah mahasiswa di Bandung waktu itu, penuh semangat, visioner, dan berasal dari keluarga terpandang.

Setiap hari, Lira menulis surat. Tangannya hafal betul alur tinta di kertas bergaris. Kata-kata yang ia tulis bukan sekadar kabar, tapi juga doa, rindu, dan mimpi-mimpi kecil tentang masa depan bersama. Pak Pos yang mengantar surat sampai hafal betul rumahnya. Kadang, ia melempar senyum simpul seolah berkata, “Hari ini juga, ya, Neng?”

Waktu berjalan. Lira lulus dan pindah ke Jakarta Selatan untuk bekerja. Dipa bekerja di Bekasi. Teknologi mulai berubah. Surat berganti wartel. Lira rela bangun sebelum fajar, menyeberang jalan sepi hanya untuk menelepon Dipa sebelum pukul enam pagi. Tarif murah jadi alasan, tapi yang sesungguhnya ia kejar adalah suara Dipa, yang bisa membuat hari-harinya lebih hangat meski jarak tak berubah.

Mereka bertahan. Delapan setengah tahun. Dan akhirnya menikah.


Part 2

Pernikahan mereka tampak ideal. Latar belakang Dipa yang mapan dan pekerja keras membuat semua orang yakin, Lira telah menemukan pasangan yang “sempurna”. Bibit, bebet, bobot – semua masuk kriteria. Tapi, kehidupan rumah tangga bukan soal kriteria.

Tahun-tahun pertama berjalan mulus. Anak-anak lahir. Rumah dibangun. Namun sedikit demi sedikit, fondasi yang tak terlihat mulai retak. Bukan karena orang ketiga. Bukan karena uang. Tapi karena tiga hal yang paling penting dalam pernikahan mulai hilang: kejujuran, kepercayaan, dan saling menghormati.

Lira mencoba bertahan. Ia pernah berkata pada dirinya sendiri, “Aku sudah berjuang dari surat ke surat, dari wartel ke wartel, dari pagi ke pagi.” Tapi bertahan tanpa rasa dihargai hanya melukai diri sendiri.

Setelah 19 tahun pernikahan, Lira memilih bercerai.


Part 3

Hari ini, ketika seseorang bertanya pada Lira, “Bagaimana memilih suami yang tepat?” Ia tersenyum. Bukan sinis, tapi paham. Lalu menjawab pelan:

“Menikah itu soal keberuntungan. Bukan karena kamu cantik, pintar, atau berasal dari keluarga baik-baik. Bahkan bukan karena kamu sudah pacaran bertahun-tahun. Tidak ada jaminan. Ada yang baru kenal sebentar tapi bahagia. Ada yang terlihat sempurna dari luar, tapi hancur dalam diam.”

Ia tahu, cinta itu bukan hanya tentang awal yang indah. Tapi tentang bagaimana dua orang terus saling memilih, bahkan di hari-hari paling sulit.

Dan kini, surat-surat lama itu tetap ia simpan. Bukan untuk dikenang dengan luka, tapi untuk diingat: bahwa ia pernah berjuang sepenuh hati.

Dan itu… sudah lebih dari cukup.


Photo by sue hughes on Unsplash