Posted in

Susu, Zakat, dan Luka yang Tak Termaafkan

Susu, Zakat, dan Luka yang Tak Termaafkan
Susu, Zakat, dan Luka yang Tak Termaafkan

Di sebuah kota yang tengah bergulat dengan mahalnya hidup, tinggal seorang perempuan single bernama Lira. Hidupnya sederhana, tapi cukup. Ia bekerja keras, mandiri, dan meski belum menikah, ia selalu menyisihkan sebagian pendapatannya untuk zakat dan sedekah. Bagi Lira, membantu orang lain adalah prinsip hidup.

Salah satu orang yang kerap ia bantu adalah teman lamanya, Sari. Berbeda dengan Lira, Sari sudah menikah dan memiliki dua anak perempuan yang masih kecil—usia 4 dan 2 tahun. Suaminya hanya bekerja dengan gaji pas-pasan, tak lebih dari UMR. Sementara Sari sendiri tidak bekerja, dan sayangnya, juga tidak pandai mengelola keuangan. Jadilah ia sering meminjam uang dari Lira, entah untuk beli susu anak, bayar listrik, atau kadang cuma tanya, “Ada uang zakat nggak? Buat jatah bayi.”

Lira, dengan hatinya yang lembut, tak pernah keberatan. Ia merasa zakat itu memang hak orang-orang seperti Sari. Tapi semua berubah pada satu sore ketika mereka duduk di warung kecil, menunggu hujan reda. Sari berkata, “Pengen deh punya anak cowok. Yang ini dua-duanya cewek.”

Lira terdiam sejenak, lalu menjawab hati-hati, “Sar, anak itu rezeki, iya, tapi kamu sendiri sering kesulitan buat susu dan kebutuhan sehari-hari. Coba pikirin dulu, jangan sampai anak-anak malah jadi korban.”

Sari hanya mengangkat bahu. Tapi beberapa detik kemudian, entah apa yang menyulutnya, ia menatap Lira dan berkata dengan nada bercanda yang menusuk, “Lo mah hidup kebanyakan mikir. Makanya jadi perawan tua.”

Waktu seperti berhenti bagi Lira. Kata-kata itu bukan sekadar ejekan. Itu tikaman yang mengorek luka lama. Sari tahu—tahu betul—kalau Lira belum pernah menjalin hubungan karena trauma. Masa remaja Lira penuh dengan kekerasan emosional dari laki-laki, dari bullying yang membuatnya takut membuka diri. Dan kini, luka itu diungkit lagi, dijadikan bahan lelucon.

Sari sempat tertawa kecil setelah menyadari ucapannya, buru-buru berkata, “Eh, becanda! Maaf ya, maaf banget!”

Tapi Lira hanya diam. Tak ada marah, tak ada protes. Hanya tatapan kosong. Sejak hari itu, Lira memutuskan satu hal: ia tak akan lagi membantu Sari dalam bentuk apa pun. Tidak uang, tidak pinjaman, bahkan tidak perhatian. Bukan karena marah, tapi karena sadar—beberapa orang hanya tahu cara menerima, tanpa pernah benar-benar menghargai.

Sari sempat panik, bahkan sampai meminta seorang teman lain untuk menjadi penengah. Lewat perantara itu, ia bertanya, “Lira masih marah nggak ya?”

Lira menjawab pelan tapi tegas, “Aku nggak marah. Tapi aku orangnya pendendam.”

Dan setelah itu, tak ada lagi kabar. Tidak chat. Tidak tanya kabar. Tidak permintaan susu. Hanya sunyi.

Kadang, orang baru benar-benar sadar siapa yang peduli ketika yang peduli itu akhirnya pergi. Tapi sayangnya, tak semua kepergian bisa ditarik kembali.


Photo by Briana Tozour on Unsplash