Posted in

Titik Ragu di Ujung Jalan

Titik Ragu di Ujung Jalan
Titik Ragu di Ujung Jalan

Namanya Nayla. Perempuan dengan pemikiran dewasa, punya impian tentang cinta yang tenang, rumah yang hangat, dan pasangan yang bisa dia ajak duduk bareng membicarakan masa depan, bukan sekadar masa kini.

Dulu, Nayla pernah dekat dengan seorang pria yang—menurut banyak orang—nyaris sempurna. Sebut saja Arya. Wajahnya rupawan, perpaduan lokal dan bule, gaya bicaranya santun, senyumannya menenangkan. Anak orang terpandang di kota kecil tempat Nayla tinggal. Walaupun Arya masih kuliah saat itu, kesibukannya tak pernah jadi alasan untuk absen memberi kabar.

Setiap pagi, Arya lebih dulu mengirim pesan, dan malam harinya, suara terakhir sebelum tidur pun dari dia. Nayla nyaman, meskipun mereka tidak pernah menyatakan hubungan secara resmi. Mobilnya selalu siap menjemput Nayla untuk jalan-jalan, bahkan ketika jarak rumah mereka tak dekat. Namun, dalam semua perhatian itu, Nayla tahu… ada sesuatu yang kurang.

Arya masih bolong-bolong dalam sholat. Kadang sengaja. Ia juga suka minum di acara tertentu, dan meskipun tidak merokok, feed Instagram-nya penuh dengan selebgram cantik. Nayla, walau menyukai Arya, selalu merasa ragu. “Bisa nggak ya dia jadi imamku suatu hari nanti?” pikirnya. Tapi, Nayla juga tidak pernah mengungkapkan perasaan itu. Minder. Status sosial dan fisik Arya yang jauh di atasnya membuat Nayla diam. Dia merasa cukup jadi ‘teman menyenangkan’, bukan calon istri.

Sampai suatu hari, muncullah Bayu. Seorang pria yang hampir tidak memiliki kilau seperti Arya. Fisiknya jauh lebih sederhana. Wajah Jawa banget, tinggi besar, tapi tidak menarik perhatian di keramaian. Tapi dari cara dia bicara, dari kesungguhannya memperkenalkan diri pada keluarga Nayla hanya dua bulan setelah dekat, Nayla tahu, Bayu bukan pria biasa.

See also  Not the Sky I Embraced

Bayu sabar luar biasa. Dia tidak pernah marah, tidak pernah kasar, tidak pernah menyakiti. Paham agama. Paham batasan. Tapi… Bayu terlalu tenang. Terlalu serius. Pesan baru datang hanya ketika urusannya sudah selesai. Tidak ada “selamat pagi”, tidak ada “sudah makan belum?”. Nayla sering merasa seperti punya pacar yang hanya aktif waktu weekend. Chat-nya sering tenggelam dalam kesibukan, dan dia selalu bilang, “Maaf ya, baru bisa bales.” Tapi… bukankah kabar kecil itu penting?

Waktu terus berjalan, dan Nayla makin sering membandingkan. Arya mungkin penuh kekurangan dalam iman, tapi dia pandai menenangkan. Sementara Bayu penuh iman, tapi sering kali membuat Nayla merasa sendiri dalam hubungan yang seharusnya bersama.

Puncaknya adalah ketika Bayu memperkenalkan Nayla sebagai teman di acara keluarga. Sekali, Nayla bisa mengerti. Tapi di kali kedua, ketika kakak Bayu membawa calon istri dan dikenalkan dengan bangga… Nayla masih tetap disebut teman. Dua tahun bersama, dan tetap tak dianggap?

Nayla menangis dalam diam di perjalanan pulang. Ia mencoba bicara baik-baik, ingin menunda dulu sampai suasana tenang. Tapi Bayu mendesak, dan akhirnya Nayla menceritakan semuanya—rasa sakitnya, rasa tidak dianggapnya. Tapi malah dibalas dengan kemarahan. Nayla dianggap baperan. Bayu tak mengerti mengapa Nayla tidak bisa menghargai keluarga kakaknya.

Dan di situlah luka itu tertanam dalam.


Di hari-hari menjelang pernikahan mereka—hanya tiga bulan lagi—Nayla duduk sendiri di kamar, menatap undangan yang belum dicetak. Ia tidak lagi bisa merasakan apa-apa. Rasa yang dulu ada, hangat, percaya, semuanya pelan-pelan menghilang. Ia masih menghargai Bayu, tapi tidak lagi mencintainya seperti dulu.

Bayu sendiri terlihat lelah. Ia merasa terus disalahkan. Dan Nayla sadar, mungkin memang salahnya. Ia terlalu sering membandingkan. Tapi, siapa yang tak membandingkan jika hatinya merasa hampa?

See also  Yang Dipilih Langit

Cinta bisa dikompromi, tapi komunikasi tidak. Nayla tahu, Arya mungkin bukan pilihan yang tepat. Tapi ia pernah merasa “dilihat” saat bersama Arya. Dan rasa itu… kadang lebih kuat dari segalanya.


Photo by George Bohunicky on Unsplash