Posted in

Yang Pergi Demi Gengsi

Yang Pergi Demi Gengsi
Yang Pergi Demi Gengsi

Namanya Naya. Seorang perempuan yang mencintai dengan tulus, membangun mimpi bersama pria yang ia kira akan menjadi teman hidupnya. Bertahun-tahun menjalin hubungan dengan Arvind, mereka bahkan sudah merancang pernikahan, menyusun tabungan bersama, dan berbagi hidup.

Namun semuanya berubah—pelan, tapi pasti. Semua dimulai saat Arvind mengenal seorang karyawan baru di kantornya. Namanya Adel. Anak orang kaya, lulusan luar negeri, datang dengan mobil dan senyum percaya diri yang rupanya cukup memikat hati yang lemah iman.

Naya awalnya tak curiga. Arvind memang pria yang dulu tak pernah mau lembur. Tapi kini, tiap malam ia sibuk “lembur”. Lama-lama, alasan itu jadi tak masuk akal. Sampai suatu hari ada yang melihat Arvind dan Adel jalan berdua di mall. Bahkan KFC yang ia bawa ke rumah masih menempel struknya—nama Adel tertera di situ.

Malam yang biasanya diisi suara tawa mereka lewat telepon, berubah jadi malam sunyi. “Lagi capek, mau tidur,” katanya. Tapi ternyata, Arvind online, dan sedang teleponan dengan orang lain. Lalu datang Valentine. Arvind hanya mengucap singkat, dingin. Tapi kabar berhembus, dia memberi hadiah spesial ke Adel.

Akhir pekan tak lagi dihabiskan bersama. Pulang kerja pun kini penuh alasan. “Capek. Mau istirahat.” Hingga akhirnya puncaknya datang—seseorang memberi tahu, di balik ID card Arvind, ada foto mereka berdua. Galeri ponsel terkunci. Bahkan ibunya pun diam saja, seolah tahu semua.

Satu waktu, di hari ulang tahun Naya, ia berusaha keras menyiapkan kejutan. Menghubungi keluarga Arvind, menghias tempat kecil dengan harapan besar. Tapi Arvind datang dengan wajah murung. Belakangan baru ketahuan, Adel sudah lebih dulu memberinya kejutan di kantor. Kejutan itu lebih berarti, rupanya.

Tahun itu, Arvind berubah. Dulu sederhana, kini jadi pria bermerek dari kepala sampai kaki. Lalu meminta uang—bukan untuk pernikahan, tapi untuk DP mobil dan beli motor Ninja. Alasannya? “Untuk menyembuhkan hati yang disakiti.” Ironis.

Naya dituduh selingkuh. Padahal yang terjadi justru sebaliknya. Ia dimanipulasi, dibuat merasa bersalah, dan terus menuruti kemauan Arvind. Sampai satu titik: cukup. Ia bicara dengan orang tua Arvind, berharap ada perubahan. Tapi yang ia dapat hanya tantangan. Arvind tak berusaha mencegah. Ia bahkan seperti menunggu semuanya berakhir.

Hubungan digantung berbulan-bulan. Naya sudah tak tahan. Di luar sana, banyak lelaki lebih baik mendekatinya. Daripada terus tenggelam dalam ketidakpastian, ia memilih menerima lamaran pria lain yang jelas.

Tabungan yang mereka kumpulkan? Habis. Bahkan uang ibunya yang meminjamkan 15 juta—lenyap. Tak ada yang bisa diselamatkan kecuali sebagian kecil dari refund vendor. Naya tak ikhlas. Tapi apa boleh buat, luka sudah terlanjur menganga.

Kini Arvind akan menikah. Dengan Adel. Mewah. Megah. Tapi bukan dari hasil keringatnya. Bukan dari jerih payahnya. Tapi dari harta perempuan yang ia pilih karena status dan gengsi.

Naya hanya bisa mengucap satu doa:

“Semoga kau bisa memberi makan istrimu, bukan sekadar memberi makan egomu.”

Tapi Tuhan memang tak tidur.
Di saat ia jatuh, berdarah-darah, Naya bangkit. Ia berdiri, lebih kuat dari sebelumnya. Dan Tuhan mempertemukannya dengan lelaki sejati—yang bukan hanya mencintainya, tapi menghargai dan memperjuangkannya.

Kini, ia tak perlu lagi menabung bersama untuk menikah. Karena cinta yang sejati tak akan membiarkan satu orang menanggung semuanya.

Dan Arvind? Biarlah dia menikmati pesta pernikahannya. Tapi yang tahu rasa pahitnya hati—hanya mereka yang menelan karma.


Image by 愚木混株 Cdd20 from Pixabay