Posted in

Antara Cinta, Gengsi, dan Realita

Antara Cinta, Gengsi, dan Realita
Antara Cinta, Gengsi, dan Realita

Aku baru saja menikah.
Sejak awal, aku sudah bicara dengan calon suamiku bahwa aku ingin pernikahan yang sederhana. Kami tidak mendapat bantuan biaya dari keluarganya, jadi menurutku, yang penting adalah kami bisa hidup aman dan nyaman setelah menikah. Bukan soal kemewahan acara.

Namun dia bersikeras tetap ingin memakai jasa Wedding Organizer. Aku tahu, untuk hal seperti itu pasti butuh biaya puluhan juta. Tapi dia tetap ngotot, katanya ini “sekali seumur hidup”.

Akhirnya, uang yang kami punya tidak cukup. Diam-diam dia mengajukan pinjaman ke bank sebesar 30 sampai 40 juta. Kami mulai pernikahan ini dengan cicilan 1 juta per bulan.

Kupikir itu saja, tapi ternyata di hari H acara, dia kembali meminjam uang lewat Spaylater sebesar 5 juta tanpa memberitahuku. Hutang kami pun makin membengkak.

Setelah menikah, perekonomian kami terseok. Kami harus membayar cicilan 1,5 juta setiap bulan, hanya untuk menutupi biaya pesta pernikahan.
Masalah tidak berhenti di situ. Suamiku melarangku untuk melakukan KB, dan akhirnya aku hamil. Dia memang sangat ingin punya anak, katanya karena usianya sudah 31 tahun.

Tapi gajinya hanya 2,5 juta per bulan. Sementara cicilan nikah saja 1,5 juta. Itu berarti hanya tersisa 1 juta untuk kebutuhan hidup kami berdua—dan sekarang, bertiga.

Kadang aku memperhatikan media sosial. Banyak pria di luar sana yang bermimpi untuk diterima wanita apa adanya, bukan berdasarkan standar hidup glamor seperti di TikTok.
Ironisnya, justru aku bertemu dengan laki-laki yang gengsinya tinggi, sampai rela berhutang ke sana-sini demi tampil wah saat menikah.

Sekarang aku merasa tertipu. Bukan karena dia tidak kaya, tapi karena dia tidak jujur dan memaksakan gengsinya tanpa memikirkan masa depan kami.


Photo by Towfiqu barbhuiya on Unsplash