Posted in

Mulut yang Lebih Tajam dari Belati

Mulut yang Lebih Tajam dari Belati
Mulut yang Lebih Tajam dari Belati

Di kampung kami, musim panen selalu membawa hiruk-pikuk. Truk-truk berlalu-lalang, suara mesin perontok padi terdengar dari pagi hingga senja, dan uang seolah mengalir deras dari tangan ke tangan. Tapi, di balik semarak itu, tersembunyi satu kisah pilu yang tak banyak orang mau benar-benar pahami.

Dua minggu lalu, seorang tetangga kami—seorang pemuda bujangan yang baru mencoba peruntungan di dunia usaha—mengalami kegagalan. Dia mencoba bisnis jual beli gabah. Dengan semangat dan mungkin sedikit naif, dia membeli gabah petani dengan harga Rp6.000 per kilogram. Padahal, harga pasar waktu itu tak lebih dari Rp5.800. Ia pikir, dengan menawar lebih tinggi, ia bisa mendapat kepercayaan petani dan menjualnya kembali dengan cepat. Tapi ternyata perhitungannya meleset.

Bukan hanya gabahnya tak laku seperti harapan, ia juga tersangkut utang yang lumayan besar. Sekitar 100 juta rupiah. Lima petani belum menerima bayaran, jumlahnya bervariasi antara 17 hingga 35 jutaan. Dan saat itulah, belati-belati tak kasat mata mulai terhunus—dari mulut ke mulut.

“Belinya kemahalan, bodoh!”
“Tak hitung ongkos angkut, pantas bangkrut.”
“Baru usaha saja sudah bikin masalah.”

Suara-suara itu, yang katanya hanya obrolan biasa di warung kopi atau di pinggir jalan, ternyata mengguratkan luka yang dalam. Esok paginya, kabar menyebar cepat: pemuda itu ditemukan tergeletak setelah menenggak racun babi. Suasana puskesmas mendadak ramai. Wajah-wajah yang kemarin lantang menggunjing kini menampakkan cemas yang kikuk.

Alhamdulillah, nyawanya masih bisa diselamatkan. Tapi siapa yang tahu, bagaimana luka di dalam hati yang terus menganga?

Orang-orang lupa, bahwa dia sedang berusaha. Bahwa mencari pinjaman 100 juta bukan perkara sepele. Bahwa ini adalah bisnis pertamanya. Dan bahwa dia bukan berniat menipu, hanya kurang pengalaman dan terlalu percaya pada itikad baik.

Mulut manusia memang tak berdarah seperti belati, tapi bisa jauh lebih mematikan. Kadang, luka yang tak terlihat justru paling lama sembuhnya.

Kini, pemuda itu masih menjalani pemulihan. Semoga kampung ini juga turut sembuh—dari kebiasaan buruk menghakimi tanpa tahu seluruh cerita.


Image by Mohamed Hassan from Pixabay