Posted in

Sidik Jari di Tembok

Sidik Jari di Tembok
Sidik Jari di Tembok

Ayah saya kini sudah tua. Langkahnya tak lagi tegap, dan untuk berjalan di rumah, ia biasa berpegangan pada tembok. Lama kelamaan, bekas sidik jarinya muncul di sana—noda samar yang tak pernah saya sadari sebelumnya, namun menjadi jejak waktu, kisah tentang ketergantungan dan kelemahannya yang diam-diam.

Istri saya tak menyukai itu. “Tembok jadi kotor,” keluhnya. Ia sering membersihkannya dengan lap, kadang dengan wajah kesal yang tak bisa disembunyikan. Dan saya, seringkali hanya diam.

Suatu hari, ayah mengeluh sakit kepala. Ia mengoleskan minyak kayu putih di pelipisnya dan seperti biasa, berpegangan pada dinding saat menuju kamarnya. Tapi kali ini, bekas minyak ikut menempel di tembok. Istri saya marah besar. Dan saya… saya meluapkan kemarahan saya pada ayah.

Saya berteriak, “Berhentilah menyentuh tembok itu! Kalau kamu butuh sesuatu, bilang saja!”
Ayah hanya terdiam. Matanya menatap saya lama, penuh rasa sakit dan luka yang tak bisa diungkapkan. Saya merasa malu, tapi entah kenapa, saya tetap diam.

Setelah hari itu, ayah tak lagi menyentuh tembok. Ia memilih berjalan tanpa bantuan, meski saya tahu itu sulit baginya. Hingga suatu hari, ia terjatuh di lorong rumah. Tulang pinggulnya patah. Kami membawanya ke rumah sakit dan ia menjalani operasi, tapi tubuhnya menolak pulih. Dalam beberapa hari, ia pergi meninggalkan kami.

Saya tak pernah bisa melupakan tatapan terakhirnya. Tatapan diam penuh luka yang lebih dalam dari semua kata-kata yang bisa saya ucapkan. Penyesalan itu menempel di hati saya, seperti sidik jarinya di tembok—tak bisa hilang.

Beberapa bulan kemudian, kami berencana mengecat rumah. Tapi anak saya, yang sangat menyayangi kakeknya, menolak mengecat dinding tempat bekas tangan kakeknya masih terlihat. “Jangan hapus itu,” katanya pelan. “Itu bagian dari kakek.”

Tukang cat yang kami panggil sangat pengertian. Ia punya ide yang luar biasa. Ia membuat desain lingkaran-lingkaran artistik di sekeliling bekas sidik jari itu—membingkainya, bukan menghapusnya. Dan kini, dinding itu menjadi pusat perhatian rumah kami. Setiap tamu yang datang akan memujinya, tak tahu bahwa di sanalah cinta, kesalahan, dan penyesalan pernah bertemu.

Waktu berlalu. Saya pun menua. Suatu hari, saya merasa limbung saat berjalan. Refleks, tangan saya hendak menyentuh dinding. Tapi saya teringat ayah. Saya menarik kembali tangan saya—berusaha berjalan sendiri. Tak lama, anak saya menghampiri.

“Papa,” katanya lembut. “Pegangan saja. Nggak apa-apa.”
Lalu cucu perempuan saya berlari kecil dan memegang tangan saya.
“Papa, pegang bahuku aja ya.”

Air mata jatuh. Saya tak bisa menahannya.

Saya duduk di sofa, dan cucu saya datang membawa buku gambarnya. Di sana, ia menggambar tembok rumah dengan sidik jari kakeknya. Di bawahnya tertulis:

“Kami ingin setiap anak mencintai orang tua mereka seperti ini.”

Saya pergi ke kamar dan menatap foto ayah. Dalam hati saya meminta maaf, “Maafkan aku, Yah… Aku harusnya lebih sabar. Harusnya lebih mengerti.” Dan saya menangis.

Waktu akan terus berjalan. Kita semua akan menua. Suatu hari, kita akan membutuhkan orang lain seperti orang tua kita pernah membutuhkan kita.

Jika kamu masih memiliki orang tua, peluk mereka. Hormati mereka. Cintai mereka. Ajarkan anak-anakmu untuk melakukan hal yang sama—bukan dengan kata-kata, tapi dengan contoh.

Karena cinta yang nyata… kadang hanya terlihat dari sidik jari yang tertinggal di tembok.


Photo by Caroline Hernandez on Unsplash