Posted in

Akhirnya, Aku Pilih Diriku Sendiri

Akhirnya, Aku Pilih Diriku Sendiri
Akhirnya, Aku Pilih Diriku Sendiri

SMA, sekitar tahun 2016. Aku punya sahabat deket banget namanya Rani. Temen sekelas aku, Gilang, suka sama dia. Gilang tuh nggak pernah nyerah buat deketin Rani, dan dia sering banget minta aku bantuin. Karena aku temenan baik sama mereka berdua, ya aku bantu, walaupun Rani selalu bilang Gilang bukan tipe dia.

Waktu lulus 2019, aku kuliah reguler, Gilang ambil vokasi. Kita sibuk masing-masing. Nggak ada kabar. Tapi tahun 2020, tiba-tiba dia muncul lagi. Ngobrol soal perasaannya ke Rani, padahal Rani udah punya pacar. Lama-lama, Gilang malah jadi sering ngobrol sama aku. Chat, telepon. Aku nggak terlalu respon karena waktu itu aku juga lagi deket sama orang. Sampai akhirnya dia berhenti sendiri.

Tahun 2022, aku lagi sering bikin snap karena gabut. Gilang tiba-tiba nge-reply. Ngobrol lagi. Tukar kabar. Cerita-cerita. Sampai makin deket. Dan akhirnya… dia nyatain perasaan.

Aku sempat ragu. Karena dia temen sekelas. Tapi Gilang ganteng dari dulu, dan kali ini dia bilang serius. Aku luluh, dan aku terima.

Hubungan kita manis di awal. Tiga bulan yang bikin aku senyum terus. Kita LDR Bandung – Jakarta. Ketemu sebulan sekali. Akhirnya kita publish hubungan di Instagram. Tapi… dari sinilah awal semua masalah itu datang. Ternyata Gilang hide snap kita dari beberapa cewek yang dulu dia deketin.

Aku tahu itu dari akun IG-nya sendiri, yang dia kasih akses atas inisiatif dia. Aku marah. Karena buat apa di-hide kalau nggak ada yang disembunyiin?

Bulan ke-6 pacaran, dia ketahuan jalan sama cewek yang salah satunya dia hide. Namanya Tika. Tapi mereka nggak lanjut karena Tika tahu Gilang udah punya aku.

Tapi puncak dari semua kegelisahan aku datang dari satu nama: Alya.

Aku inget pernah lihat Alya di snap Gilang waktu dia internship. Cewek cantik, anggun, multitalenta. Kayak teteh-teteh Bandung versi iklan hijab premium. Aku cewek aja terpukau. Dan dari cara Gilang liat Alya, aku tahu dia suka banget.

Mulai saat itu, aku sering pantau IG Alya dari akun Gilang. Karena Alya aktif banget. Tiap dia update snap, Gilang pasti langsung nge-like. Aku cemburu. Aku bilang ke Gilang, aku nggak suka. Tapi Gilang tetap aja ngelakuin hal yang sama lagi dan lagi.

Aku pernah minta putus. Tapi Gilang yakinin aku. Bilang cuma khilaf. Dan aku maafin.

Setahun hubungan, Gilang mulai berubah. Dulu sebulan sekali pulang, sekarang tiga bulan pun nggak. Alasannya kerja terus, nggak ada libur. Aku mulai overthinking. Bahkan mimpi dia selingkuh — dan ternyata bener.

Dia selingkuh sama Tika, rekan kerjanya. Penampilannya beda banget dari Alya. Lebih berani, seksi. Tapi aku jijik pas tahu apa yang mereka lakuin. Aku marah, kami putus. Tapi Gilang bilang mau berubah, karena Tika udah resign. Dan… aku terima dia lagi. Karena aku masih percaya.

Tapi hubungan ini berubah. Aku jadi posesif. Gilang makin dingin. Aku tahu, dia masih kepo sama Alya. Bahkan setelah aku suruh block, dia unblock lagi diam-diam. Terus kepoin. Block lagi. Begitu terus.

Puncaknya: Alya ke Jakarta buat kerjaan. Gilang tahu dari snap. Dia ajak ketemu di tempat kerjanya — sebuah resto di hotel. Dia bahkan kasih kue bertuliskan “Happy Birthday,” padahal ultah Alya masih dua hari lagi.

Aku masih ingat hari itu. Gilang kasih aku hadiah. Kejutan. Tapi aku tahu… itu cuma cara dia nutupin rasa bersalahnya.

Aku marah besar. Minta putus. Tapi dia diem. Nggak minta maaf. Dan aku, yang terlalu cinta, akhirnya memaklumi lagi.

Bulan berikutnya, kejadian lagi. Alya ke Jakarta. Gilang nggak ketemu, tapi kirim makanan lewat ojol. Aku makin yakin, ini bukan sekedar suka — tapi obsesi.

Aku bingung. Akhirnya aku hubungi Mira, temen mereka waktu internship. Ternyata bener. Gilang suka banget sama Alya, tapi Alya nggak pernah tanggepin.

Aku lemas. Di satu sisi, Gilang baik banget ke aku. Aku udah kenal keluarganya, dia kenal keluargaku. Tapi kalau aku bahas nikah, dia selalu menghindar. Mungkin karena… aku bukan yang dia mau.

Sekarang, Gilang udah nggak bujuk aku kalau aku marah. Aku diem, dia lebih diem. Dia kasih mixed signal. Kadang perhatian, kadang dingin. Tapi aku masih cinta.

Aku tahu aku pantas dapat yang lebih baik. Tapi hati ini belum bisa lepas.

Jadi aku berdoa:

“Kalau dia bukan jodohku, tolong, Ya Allah… beri aku jalan terbaik. Jangan biarkan aku terus-terusan terluka.”

Sekarang, tiap aku tahu Gilang masih kepoin Alya, aku nggak marah lagi. Aku cuma diam. Karena aku tahu, aku nggak akan pernah dapat penjelasan atau permintaan maaf.

Aku pendam semuanya sendiri. Karena aku udah terlalu sering ngerasa nggak didengerin. Kadang aku mikir, kenapa aku masih bertahan sama seseorang yang bahkan nggak sepenuhnya milikku?

Padahal aku bisa pergi. Aku bisa mulai dari awal. Aku bisa cari seseorang yang tulus. Yang nggak bikin aku nangis sendirian tengah malam. Tapi aku juga nggak bisa bohong. Aku masih cinta. Aku selalu lihat sisi baik dia. Tapi semua itu… cuma kenangan.

Sekarang, aku capek. Tapi juga takut. Takut kehilangan. Takut nyesel. Takut makin hancur. Aku stuck. Antara bertahan… atau melepas.

Dan yang paling menyakitkan… bukan Gilang. Tapi aku sendiri. Karena aku tahu kebenarannya. Tapi tetap milih buat bertahan. Aku yang selalu mikir:

“Kalau aku sabar, dia pasti berubah.”

Tapi kenyataannya? Dia nggak berubah. Aku yang berubah. Jadi seseorang yang terus pura-pura nggak apa-apa. Sekarang aku cuma pengen sembuh. Pelan-pelan.

Dan kalau suatu hari nanti aku bisa lepas… Aku ingin bisa bilang ke diriku sendiri:

“Akhirnya, kamu pilih dirimu sendiri.”


Photo by Annie Spratt on Unsplash