Posted in

Tita, Teman Tanpa Cerita

Tita, Teman Tanpa Cerita
Tita, Teman Tanpa Cerita

Aku punya seorang teman. Namanya Tita. Kami sekelas saat SMP, dan sejak itu, kami begitu dekat. Bukan hanya teman biasa — dia seperti bagian dari hidupku. Aku sering menginap di rumahnya, dia pun begitu. Dia akrab dengan adik-adikku, dan aku pun dekat dengan kakaknya. Mungkin karena dia anak bungsu, dan aku merasa bisa memahami sisi rapuh yang tak pernah ia tunjukkan secara langsung.

Persahabatan kami tak berhenti di SMP. Meski SMA kami berbeda, Tita tetap sering datang ke rumah. Saat kuliah, kami merantau ke kota yang sama. Kosan kami seperti rumah kedua bagi masing-masing. Bahkan, ada satu malam, saking gabutnya, aku menemaninya dari Bandung ke Jakarta jam 10 malam. Hanya untuk mampir ke wartel di Terminal Rambutan, lalu kembali lagi ke Bandung. Aku sampai geleng-geleng kepala. Tapi ya, begitulah Tita. Aneh, impulsif, dan tetap… diam.

Dari luar, semua orang mengira aku adalah tempat curhatnya. Tapi kenyataannya, aku tak tahu apa-apa tentang dunia batinnya. Ia seperti buku yang kulitnya selalu kubaca, tapi tak pernah kubuka. Tahun 2009, aku baru tahu dari orang lain kalau Tita dijodohkan dengan pria yang sedang studi di Malaysia. Saat kutanya, dia bahkan tak mau menyebut namanya. Sepupuku dua orang pernah terang-terangan naksir Tita, tapi ia menolak — katanya mereka sudah seperti keluarga.

Anehnya, justru aku yang ingin ia jodohkan dengan kakaknya. Kakaknya 10 tahun di atasku. Aku menolak. Dan jodohnya dengan pria Malaysia itu pun batal, katanya karena ia takut tidak pantas mendampingi. Padahal, Tita itu pintar. Tapi, dia selalu kelihatan… minder. Kurang percaya diri. Berbanding terbalik denganku yang terlalu percaya diri dan berani. Kadang, aku iri padanya karena ketenangannya. Tapi juga sedih karena ia tak pernah benar-benar membuka diri.

Tahun yang sama, 2009, seorang teman SMP kami nelpon aku, minta dijodohkan dengan Tita. Bahkan menjanjikan uang jika berhasil. Kutolak. Tapi ternyata mereka benar-benar menikah. Saat itu aku sedang marahan dengan Tita. Adikku akan menikah tanpa restu orangtua, dan Tita malah mendukung. Hatiku luka. Bagaimana mungkin dia tak memikirkan perasaan keluargaku?

Setelah itu, Tita mengirimi aku SMS tiap hari, meminta maaf. Lama-lama aku luluh. Kami berteman lagi, tapi rasanya sudah tak seperti dulu. Komunikasi kami hanya basa-basi. Tahun 2017 aku main ke rumahnya lagi. Ada rasa hangat yang kembali, tapi tetap, hanya aku yang curhat. Tita tetap menjadi teka-teki. Lurus, tenang, dan tak pernah membuka pintu isi hatinya.

Hingga tahun 2022, semua rasa yang kupendam selama ini mencapai puncaknya. Aku bertanya, kenapa dia menikah dengan teman SMP kami? Dia menjawab, “Kalau aku cerita kronologinya, kamu nanti nyuruh aku cerai.” Aku… terdiam. Shock. Bahkan masa lalu tak bisa ia bagi. Lalu, ia bilang, “Kamu dan suami LDR. Aku kenal suamimu. Kenapa nggak cerai aja?”

Kalimat itu menghancurkanku.

Bahkan orangtuaku tak pernah mencampuri rumah tanggaku, tapi dia… teman yang paling kupercaya, justru mengucapkan kalimat itu. Sejak hari itu, aku memutus komunikasi. Aku menangis. Tak ada lagi tempat untuk bercerita. Tak ada lagi yang bisa kupercaya. Sejak saat itu, aku berhenti curhat. Mungkin benar, tidak ada yang bisa memahami kita selain diri kita sendiri.

Tita berkali-kali minta maaf. Bahkan bilang ke adikku bahwa kami bertengkar. Saat kutanya lewat pesan, “Kita ribut masalah apa?” Jawabnya: “Perasaan kamu aja.”

Lucu ya. Kami tak pernah benar-benar bertengkar. Tapi hubungan kami hancur tanpa satu pun bentakan. Hanya karena perasaan, dan kata-kata yang terlalu dalam untuk dilupakan.

Sampai hari ini, Tita tetap menjadi misteri. Bahkan setelah SMP tiga tahun bersama, SMA beda tapi hampir tiap hari datang ke rumahku, kuliah beda kampus tapi tiap libur kami bertemu, dia tetap lempeng. Cerita-ceritanya biasa. Ringan. Tak pernah kubisa tebak apa yang ia suka, apa yang ia simpan, dan apa yang ia takutkan.

Dia… tetap Tita.

Teman tanpa cerita.


Photo by Siora Photography on Unsplash