Posted in

Alya, Sebuah Nama, Sebuah Luka

Alya, Sebuah Nama, Sebuah Luka
Alya, Sebuah Nama, Sebuah Luka

Sepuluh tahun lalu, hidup di dusun kecil kami berubah tanpa diduga. Saat itu, Bapak dan Mamak membawa pulang seorang anak perempuan dari hutan, usai mereka mendengar kabar tentang dua anak yang tinggal bersama nenek mereka, mengandalkan talas dan singkong liar untuk bertahan hidup. Anak itu bernama Alya.

Kedua orangtua kandung Alya telah bercerai. Hidup mereka tercerai-berai, seperti sehelai kain tua yang robek di banyak sudut. Kakaknya memilih bertahan di hutan demi merawat sang nenek, sementara Alya menerima uluran tangan Bapak dan Mamak. Kami, anak-anak kandung mereka, sempat bingung dan bahkan tak setuju. Tapi Bapak berkata, “Dia butuh rumah. Mamakmu butuh teman. Biarlah dia jadi anak kita.”

Akhirnya, Alya dimasukkan ke Kartu Keluarga. Tak ada akta lahir, tak ada tanggal lahir. Segalanya diduga dari ukuran tubuh dan tinggi badannya. Tapi dari awal, Alya menunjukkan hal yang tak bisa diukur: semangat. Ia rajin, manis, dan cepat akrab. Kami pun lama-kelamaan menganggapnya adik sendiri.

Alya cemerlang di sekolah. Lulus SD dengan nilai baik, ia masuk SMP. Sekolahnya jauh dari dusun, tapi Bapak tak pernah absen mengantar dan menjemput, bahkan kadang menunggunya di warung kopi dari pagi sampai siang. Apa pun kebutuhan sekolah, Bapak dan Mamak penuhi. Harapan kami tinggi: kelak, Alya akan jadi orang yang sukses, memutus rantai kesengsaraan yang diwariskan hidup.

Saya bahkan bertekad menyekolahkannya ke perguruan tinggi jika ia lulus SMA.

Tapi hidup bukan cerita linear.

Di usia 13 tahun, masa pubertas datang seperti badai. Seorang pria 24 tahun dari dusun kami, sopan dan dikenal baik, mulai sering mengantar-jemput Alya. Ia panggil Bapak kami “Oppung” – secara adat, Alya adalah “Namboru”-nya, seorang bibi. Kami tak curiga. Tapi rupanya, niat baik bisa terseret ke arah yang salah bila tak diawasi.

Beberapa bulan kemudian, keduanya dipergoki warga – mabuk asmara dan telanjang bulat di pondok kebun. Gegerlah satu dusun. Sidang adat pun digelar. Bapak dan Mamak menolak keras permintaan si pria untuk menikahi Alya. Dia masih anak-anak. Tapi hukum adat berkata lain.

Kami mencoba menyelamatkan Alya. Merencanakan pindah sekolah ke Medan. Ia setuju. Kami semua lega.

Tapi harapan itu hancur di pagi ujian kenaikan kelas. Bapak mengantar Alya seperti biasa, tapi jam 11, ia tak muncul di gerbang. Gurunya bilang: “Alya tak masuk hari ini.”

Bapak seperti disambar petir. Alya menghilang.

Dua hari kemudian, kabar datang. Alya dan pria itu berada di dusun lain. Bapak dan Mamak menempuh perjalanan panjang, dua jam naik motor di tengah hujan dan lumpur. Mereka temukan Alya. Dibawa pulang, dingin, diam, dan keras kepala.

“Masih mau sekolah?” tanya Bapak.

“Aku mau nikah aja,” jawabnya pelan tapi tegas.

Sidang kedua pun digelar. Keluarga si pria angkat tangan. Keluarga kandung Alya justru meminta tebusan lima juta. Kami tak lagi melihat arah—semua simpang siur. Bapak kalah. Mamak pasrah. Alya menikah.

Tujuh bulan kemudian, ia melahirkan anak pertama. Lalu anak kedua, Januari kemarin.

Sekarang, Alya berusia 16 tahun. Hidupnya tidak mudah. Suaminya terlilit utang. Utang ke bidan, koperasi, toko beras, rentenir. Hasil kebun tak seberapa. Belanja tak terkontrol. Alya, masih anak-anak, dipaksa menjadi ibu dewasa.

Kadang, saat Mamak menjemur pakaian, ia temukan jemuran sudah diangkat dan dimasukkan Alya ke ember depan rumah. Alya tak bicara. Ia diam, tapi perhatiannya tetap ada. Lewat orang lain, ia titip salam. Tapi luka sudah terlalu dalam. Bapak dan Mamak hanya bisa diam, menatap langit sore dari beranda rumah.

Bapak merasa gagal. Ia pernah berpikir bisa menebus kekosongan kasih sayang yang tak ia berikan pada kami saat kecil—melalui Alya. Tapi jalan hidup memang tak selalu bisa dirancang seperti bangunan.

Kadang kami bicara pelan pada Bapak dan Mamak:

“Jangan menyesal. Kalian sudah berusaha. Kalian sudah berikan kasih sayang dan pendidikan. Banyak hal di dunia ini di luar kendali kita.”

Alya kini bukan sekadar nama. Ia adalah luka. Ia juga pelajaran. Ia juga kenangan.

Namun di balik semua itu, ia tetap manusia. Dan seperti semua manusia, ia masih bisa berubah.


Photo by A. L. on Unsplash