Posted in

Antara Dua Frekuensi

Antara Dua Frekuensi
Antara Dua Frekuensi

Sejak tahun 2022, kami berlima membentuk geng kecil yang solid karena satu hal sederhana: hobi. Dari sekadar olahraga bareng, ngonten, sampai liburan, semuanya selalu terasa seru. Tiga cowok dan dua cewek, dan di antara tiga cowok itu, ada satu yang selalu jadi standar moral tanpa harus banyak omong. Namanya Vino.

Vino bukan tipe yang banyak gaya. Tutur katanya lembut, tindakannya sopan, dan kalau ngomongin soal pasangan, dia itu definisi “soft but steady.” Dari awal kenal, kami nggak pernah dengar Vino ngomel tentang pacarnya—Caca. Justru sebaliknya, tiap Vino bahas Caca, nadanya selalu lembut. Seolah Caca adalah satu-satunya perempuan yang layak dia banggakan di hadapan dunia.

Mereka berdua serasi banget. Gym bareng, Muaythai bareng, CFD bareng, dan bahkan traveling lintas negara berdua. Caca pun hadir dengan sikap yang ramah ke kami. Bukan tipe cewek yang suka menarik perhatian, tapi cukup pintar menjaga kesan. Dan itu bikin kami makin hormat sama hubungan mereka.

Sampai suatu hari, kami ikut kelas Muaythai bareng. Ada satu permainan yang mengharuskan duduk berpasangan. Vino, yang mungkin karena spontan atau nggak sadar, duduk di sebelah cewek lain. Reaksi Caca? Tanpa suara, dia hentakkan kaki dan silang tangannya sambil menatap tajam ke arah Vino. Vino langsung berdiri dan pindah posisi, seolah kejadian itu nggak ada artinya. Tapi kami semua bisa rasakan ada tekanan yang mendadak menebal di udara.

Tahun 2024, dua teman cowok kami menikah. Topik obrolan otomatis bergeser ke soal pernikahan. Dan ketika Vino ditanya, dia jawab dengan santai, “Semoga tahun ini.” Kami sempat terdiam. Bukannya meragukan, tapi kami semua tahu tantangan terbesar mereka: beda agama.

Tapi Vino jawab dengan yakin. “Kami nggak akan saling pindah keyakinan. Kami akan nikah di luar negeri. Urusan agama biar masing-masing.”
Jawaban itu bikin kami kagum. Rasanya seperti jawaban dari orang yang sudah dewasa penuh. Tidak mengorbankan, tapi juga tidak memaksa. Damai.

Lalu waktu berlalu. Vino tiba-tiba mulai menjauh. Nongkrong bareng udah jarang, di grup chat juga cuma centang biru tanpa balasan. Sosmed? Mati total. Kami mulai bertanya-tanya. Sampai akhirnya, satu malam, gue inisiatif nanya.

“Aman kah?”
Balasan singkat: “Nggak aman.”

Besoknya, kami ngumpul di Chillax Sudirman. Vino datang dengan wajah yang beda banget. Kurus, kantung mata item, rambut kusut, jaket lusuh. Duduk, dan tanpa pembuka, dia langsung bilang:
“Gue putus.”

Kami semua saling pandang.

“Ada kejadian yang nggak bisa gue maafkan. Nggak bisa kalau dilanjutin sampai nikah.”
Vino lalu cerita…

“Hari itu kami adu argumen. Tapi gue tetep anterin dia pulang ke apartemennya. Pas mau gue tinggal, dia tantrum. Teriak, jedotin kepala ke tembok.
Gue reflek tahan jidat dia pake tangan, peluk dia. Tapi dia lari ke balkon, coba naik ke pembatas.
Gue tarik dia. Kita jatuh ke lantai. Dia masuk, ambil pisau, mau nusuk dirinya sendiri. Gue kunci badan dia, gue peluk, gue iyain semua kata-kata dia sambil nunggu keluarganya dateng.
Pas mereka sampe, gue langsung cabut. Besoknya, gue dateng ke rumahnya, ngomong ke keluarganya: gue nggak bisa lanjutin. Gue cerita semuanya.
Sejak itu, Caca kejar-kejar gue. Ke kantor, ke gym, ke rumah, ke kosan adek gue. Gue stres banget sampe akhirnya ngilang dari semua temen.”

Kami semua masih diam. Jangankan komentar, untuk narik napas pun rasanya harus izin dulu.

“Sekarang gue udah kenal sama cewek baru. Dan gue mau nikah sama dia.”

“Hah? Cepet banget, Vin.”

“Dia temennya temen gue. Dikenalin setelah gue cerita gue dikejar mantan. Gue capek trauma, dan yang ini… dia tenangin gue.”

Vino akhirnya menikah di bulan September 2024. Dan seperti yang udah bisa ditebak, Caca masih nyariin dia bahkan sampai sebulan sebelumnya. Tapi setelah foto nikahan Vino tersebar, Caca menghilang. Sosmed-nya deactivated. Tidak ada lagi kabar tentangnya.