Posted in

Angka di Atas Kertas

Angka di Atas Kertas
Angka di Atas Kertas

Suatu siang yang mendung di lantai tujuh sebuah kantor startup yang baru berkembang, Anton duduk berdampingan dengan sahabat lamanya, Bagas, yang kini menjabat sebagai Head of HR. Mereka tengah menjalani hari yang berat—menentukan siapa yang layak bergabung sebagai staf baru dari tiga kandidat terakhir yang sudah melalui serangkaian tes.

Satu pertanyaan tersisa. Satu pertanyaan pamungkas.

“Minta gaji berapa?”

Anton tak pernah menyangka, tiga kata sederhana itu bisa menelanjangi isi hati seseorang.


Kandidat Pertama:

Namanya Dita. Sarjana Teknik Informatika. Bahasa tubuhnya tenang, agak gugup tapi tetap ramah.

“Dita, kamu minta gaji berapa?” tanya Bagas dengan nada netral.

“Sesuai standar perusahaan aja, Pak,” jawab Dita sambil tersenyum kecil.

Tak ada negosiasi. Tak ada permintaan lebih.

Anton dan Bagas saling melirik. Anggukan singkat. Dita diberi tawaran lima juta rupiah. Ia mengangguk bahagia, tanda tangan, dan akan mulai kerja tanggal satu.

Mudah. Cepat. Sederhana.

Tapi tidak meninggalkan kesan.


Kandidat Kedua:

Namanya Arwan. Pria muda dengan wajah lelah, membawa map lusuh yang tampaknya sudah bolak-balik dia bawa ke belasan wawancara.

“Arwan, minta gaji berapa?”

Dia menunduk sejenak. Menarik napas, lalu menjawab lirih, “Dua setengah juta saja, Pak.”

Bagas mengerutkan dahi. “Kenapa segitu?”

“Dengan dua setengah, saya bisa hidup cukup bareng istri dan anak. Kami gak banyak kebutuhan.”

“Kenapa nggak minta lebih?” tanya Anton, penasaran.

“Takut, Pak. Takut gak dapet kerja lagi,” jawabnya sambil menunduk, suaranya hampir tak terdengar.

Hening. Ruangan itu seperti membeku.

Bagas menatap Anton. Tanpa banyak bicara, mereka sepakat: lima juta.

Arwan terdiam. Matanya membelalak. Bibirnya gemetar. Lalu, ia sujud di lantai, menahan isak. “Terima kasih, Pak… Terima kasih…”

Tangisannya begitu jujur, begitu manusiawi. Bagas berusaha menahan air mata, tapi gagal. Anton pun merasakan sesak yang sama. Bukan karena gaji itu, tapi karena mereka melihat betapa kerasnya hidup bisa menekan seseorang hingga harga diri terasa murah.


Kandidat Ketiga:

Namanya Gibran. Masih bujang, wajah cerah, tapi sorot matanya menyimpan lelah yang tak biasa.

“Gibran, minta gaji berapa?”

“UMR aja, Pak. Kalau nggak bisa, di bawahnya juga boleh.”

Anton mengangkat alis. “Kenapa segitu?”

“Saya masih sendiri. Gaji berapapun cukup. Yang penting saya bisa kirim sejuta ke orang tua setiap bulan buat beli obat diabetes ibu.”

Diam.

Jawabannya seperti palu godam yang menghantam dada. Tak ada air mata, tapi ucapan itu terasa jauh lebih berat dari apapun. Tak ada alasan pribadi. Hanya cinta seorang anak.

Bagas langsung menulis angka lima juta di atas tawaran kerja.

Gibran menatap angka itu, lalu bergumam, “Ini kebanyakan, Pak…”

Anton tak bisa berkata-kata. Bagas juga. Tiga kandidat. Tiga kisah yang tak akan pernah mereka lupakan.


Epilog:

Bagi sebagian orang, pekerjaan adalah karier. Tapi bagi mereka, itu adalah penyambung hidup. Bukan untuk gaya hidup, tapi untuk keluarga, anak, pasangan, dan orang tua yang dicintai.

Anton pulang hari itu dengan hati campur aduk. Ia menatap langit malam dari balkon apartemennya dan bertanya dalam hati:

“Kalau aku bisa bantu satu orang saja… kenapa tidak kulakukan?”

Bayangkan kalau setiap orang berpikir seperti itu. Tak perlu jadi jutawan, tak perlu punya jabatan tinggi. Cukup jadi manusia.

Karena di balik angka di atas kertas, ada nyawa yang bertahan, ada cinta yang diperjuangkan, dan ada harapan yang tetap menyala.


Photo by Cytonn Photography on Unsplash