Posted in

Hari Terakhir Bayu

Hari Terakhir Bayu
Hari Terakhir Bayu

Langit mendung menggantung di atas Jakarta pagi itu. Di kursi penumpang sebuah mobil hitam dengan logo perusahaan konstruksi ternama, duduk Bayu, 38 tahun, diam menatap gedung tinggi berlapis kaca yang selama delapan tahun ini menjadi rumah keduanya.

Delapan tahun. Bukan waktu yang sebentar untuk seorang pria yang datang sebagai IT Manager dan pergi sebagai Internal Audit di bawah langsung direksi. Tapi pagi ini, ia bukan lagi siapa-siapa di perusahaan itu.

Di kursi pengemudi, istrinya, Ayla, menggenggam setir erat. Ia menatap suaminya dari ekor mata. Wajah Bayu tenang, tapi ia tahu isi hatinya tidak.

“Yakin nggak mau aku yang antar sampai atas?” tanya Ayla pelan.

Bayu menggeleng. “Enggak usah. Aku cuma balikin kunci, STNK, sama surat mobil. Nggak lama kok.”

Ia turun, menutup pintu dengan hati-hati, lalu berjalan perlahan karena panggul kirinya kembali nyeri. Osteoarthritis. Diagnosa yang datang seperti petir di siang bolong. Sudah berbulan-bulan menahan sakit, kini jalan satu-satunya adalah operasi. Tapi ternyata, keputusan untuk memulihkan diri justru menjadi alasan dirinya ‘dipersilakan’ berhenti.

Bukan karena perusahaan tak sanggup menanggung biayanya — BPJS masih bisa diandalkan — tapi karena waktu pemulihan yang katanya bisa mengganggu operasional. Terlalu berisiko. Terlalu merepotkan.

Selama bertahun-tahun, Bayu pulang larut malam. Bahkan tak jarang dini hari. Bukan karena pekerjaannya semata, tapi karena harus menemani tamu-tamu bos besar yang datangnya selalu malam. Konstruksi hanyalah salah satu dari sekian banyak bisnis sang pemilik — seorang pengusaha keturunan yang dikenal keras dan menuntut. Seolah waktu karyawan miliknya pribadi.

Ayla tahu benar perjuangan suaminya. Ia yang menyambut Bayu di ambang pintu hampir setiap malam dengan mata sembab karena mengantuk. Ia yang menyiapkan bekal dengan satu tangan karena tangan lainnya menggandeng anak yang menangis minta digendong. Ia yang diam-diam menangis saat tahu Bayu tidak bisa hadir di pentas seni anak mereka karena harus “stand by” untuk kemungkinan tamu bos mendadak.

Dan kini, semua itu selesai. Tidak ada lagi pulang larut. Tidak ada lagi laporan mendadak tengah malam. Tidak ada lagi tekanan itu.

Tapi gantinya, kini ada kekosongan. Ada kekhawatiran. Ada tanya yang menggantung di antara mereka.

Bagaimana dengan uang sekolah anak-anak yang jatuh tempo bulan depan? Bagaimana biaya hidup jika operasi nanti harus istirahat total selama dua bulan? Bagaimana, jika…

Ketika Bayu kembali ke mobil, ia tersenyum kecil. “Selesai,” katanya singkat.

Ayla mengangguk. Tangannya bergerak pelan menggenggam tangan suaminya yang dingin.

“Kita nggak tahu ke depan gimana,” kata Ayla, nyaris seperti berbisik. “Tapi kita sudah pernah melewati masa-masa lebih sulit dari ini. Dan kita bisa lagi.”

Bayu menatap wajah wanita yang sudah menemaninya dalam suka dan duka itu. Lalu mengangguk.

“InsyaAllah,” katanya. “Ini bukan akhir. Ini mungkin justru awal dari yang lebih baik.”

Mobil melaju perlahan meninggalkan gedung megah itu. Hujan mulai turun. Tapi di dalam mobil, ada dua jiwa yang bertekad lebih kuat dari sebelumnya. Bersama dalam kehilangan. Bersama dalam harapan.


Photo by Vitaly Gariev on Unsplash