Posted in

Ikhlas yang Terluka

Ikhlas yang Terluka
Ikhlas yang Terluka

Bismillah.

Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat. Di usia pernikahan yang seharusnya menjadi masa panen kebahagiaan, seorang istri justru harus menelan pahitnya kenyataan: suami yang ia cintai ternyata menjalin hubungan terlarang dengan sepupunya sendiri.

Cerita ini dimulai dari niat baik. Sejak menikah, ia dan suaminya tinggal di rumah mertua, seorang janda yang tinggal sendiri dan dikenal sangat baik, terutama dalam hal keuangan dan kebutuhan rumah tangga. Namun, kebaikan itu ternyata membawa sisi lain: campur tangan dalam urusan rumah tangga yang perlahan mengikis batasan antara perhatian dan kendali.

Ia pernah mencoba keluar dari bayang-bayang mertua, pindah ke rumah kedua yang jaraknya cukup jauh. Namun, mertua selalu meminta ditemani, membuat mereka bolak-balik hingga akhirnya kembali tinggal bersama mertua. Ia mengalah, demi anak, demi suami, demi keluarga.

Lalu datanglah Dina, sepupu suaminya, seorang janda yang awalnya hanya datang untuk meminjam uang, lalu tinggal untuk membantu sebagai pembantu rumah tangga. Tapi kehadirannya justru menjadi awal dari petaka. Dina perlahan melanggar batas, menunjukkan sikap dan tingkah yang tak sepantasnya di hadapan suami orang. Ketika istri mencoba menegur, ia dianggap cemburu berlebihan. Bahkan suami pun menepis kekhawatiran istrinya dengan dalih “masih saudara.”

Sampai suatu ketika, ayah dari sang istri sakit di kampung. Ia harus pulang, meninggalkan rumah untuk merawat sang ayah. Dan di situlah semuanya terjadi.

Selama dua minggu ia pergi, suaminya dan Dina menjalin hubungan terlarang. Mereka tidur bersama di rumah kedua, bersembunyi di balik alasan “urusan kantor.” Istri tak tahu, mertua pun tak tahu. Tapi Tuhan Maha Tahu.

Kebenaran akhirnya terkuak lewat mulut polos anak mereka. Foto-foto mesra di HP sang ayah menjadi saksi. Hatinya remuk. Dunia runtuh seketika. Tapi demi anak, demi keluarga, ia memilih memaafkan. Dengan harapan itu semua cukup jadi pelajaran. Namun ternyata, kesalahan yang diberi ruang, tak pernah berhenti berkembang.

Enam bulan kemudian, ia kembali menemukan bukti perselingkuhan. Dan kali ini Dina hamil. Dunia benar-benar runtuh. Ia mengadu ke mertua. Dina diusir. Tapi kepergian Dina justru membuka pintu-pintu gangguan lain: teror, mistis, hingga sang suami yang kini linglung.

Dukun, ilmu hitam, dan benda-benda aneh di lemari menjadi bagian dari teka-teki panjang yang perlahan terjawab. Hatinya hancur sebagai istri. Tapi sebagai manusia, ia masih menyisakan rasa iba. Ia kasihan pada Dina yang sedang hamil. Ia peduli pada mertua yang kini sakit-sakitan. Ia tetap merawat suaminya, meski hatinya telah dicabik berkali-kali.

Kini ia hanya bisa berserah.

Bukan karena lemah. Tapi karena sudah terlalu kuat menanggung semua sendiri.

Ia tahu mungkin perpisahan adalah jalan yang terbaik. Namun bukan itu tujuannya. Ia hanya ingin suaminya sembuh. Ia ingin anaknya punya ayah seperti dulu lagi. Ia ingin berdamai. Ia ingin semua kembali tenang, meski tidak seperti semula.

Lewat tulisan ini, ia membuka diri. Bukan untuk membuka aib, tapi untuk menguatkan diri dan menjadi pelajaran bagi yang lain.

Untuk Dina, jika kamu membaca ini, hubungi aku. Kita selesaikan dengan baik. Aku ikhlas, lillahitaala. Jika memang kamu dan suamiku ditakdirkan bersama, aku akan mundur. Tapi tolong, sembuhkan dia. Demi anak kami, demi masa depan yang lebih tenang.

Kisah ini adalah tentang luka, pengkhianatan, dan kekuatan hati seorang istri. Tentang bagaimana kebaikan bisa disalahartikan. Tentang bagaimana pengorbanan bisa tak dihargai. Tapi juga tentang keikhlasan yang mendamaikan.

Semoga Allah membalas setiap air mata dengan kekuatan,
Setiap sabar dengan jalan keluar,
Dan setiap luka dengan cinta yang lebih tulus.

Wassalamualaikum.


Photo by Eric Ward on Unsplash