Posted in

Jebakan Senja di Kota Rantau

Jebakan Senja di Kota Rantau
Jebakan Senja di Kota Rantau

Sore itu, langit di kota rantau tampak gelap lebih cepat. Naira baru saja turun dari angkutan kantor, keringat masih lekat di wajah, dan punggungnya terasa berat membawa lelah. Tapi lelah itu langsung berubah jadi was-was saat matanya menangkap dua pria asing berdiri di depan rumahnya—berdiri diam, menatap kosong ke arah pintu pagar.

Naira tertegun. Di kota ini, tak pernah ada yang berani main ke rumah tanpa kabar. Keluarganya pun jauh, dan teman? Tak banyak yang tahu alamat rumah ini.

Instingnya bilang ada yang salah. Ia pun berhenti di ujung gang, menggenggam ponselnya erat, mencoba menelepon suaminya, Damar. Untungnya, Damar dan anak mereka sedang dalam perjalanan pulang dari mal. Naira menunggu, detak jantungnya tak karuan.

Beberapa menit kemudian, mobil Damar masuk perlahan ke gang. Naira langsung menyusul dari belakang. Sesampainya di depan rumah, dua pria itu masih di sana, kini wajah mereka tampak makin tidak bersahabat.

“Ada perlu apa, Pak?” tanya Damar.

Salah satu dari mereka menjawab tegas, “Kami dari pihak leasing. Mau ambil mobil untuk jaminan hutang yang sudah menunggak.”

Naira langsung maju. “Maksudnya apa ambil mobil? Mobil ini saya beli cash, saya nggak punya hutang sama siapa pun.”

Suaranya meninggi, darahnya mendidih.

“Kami hanya menjalankan tugas, Bu. Ini buktinya, atas nama Pak Marwan,” jawab si pria sambil menyodorkan dokumen.

Mata Naira terpaku pada nama itu. Pak Marwan. Mertuanya.

Jantung Naira seperti disiram bensin. Matanya memanas, tubuhnya bergetar. Ia tak bisa lagi menahan emosi. “Kalian pikir saya ini siapa? Yang ngutang mertua saya! Mobil ini saya beli pakai uang saya sendiri!”

Tetangganya mulai keluar satu-satu karena suara teriakannya. Damar juga sudah sibuk menelepon ayahnya. Suasana makin panas. Naira bahkan sampai menyuruh satpam kompleks untuk mengusir kedua pria itu.

Tapi kemarahannya belum tuntas. Ia langsung menelpon mertuanya. Tanpa basa-basi, langsung meledak,

“Bapak tuh emang anjing ya! Gak tanggung jawab, bikin malu saya kayak gini! Udah pengen mati tapi gak mati-mati, hutang malah numpuk. Sekarang saya harus yang nanggung malu, ya?!”

Telepon ditutup sepihak. Nafasnya masih memburu, dada sesak.

Ternyata, mertuanya pernah memberi tahu pihak bank bahwa dia punya mobil di kota ini. Dan entah bagaimana, tanpa cek ulang, pihak bank percaya begitu saja.

Naira terduduk di teras, tubuhnya gemetar bukan hanya karena marah, tapi karena kecewa yang mendalam. Capek pulang kerja, capek urus anak, dan sekarang harus menanggung aib yang bahkan bukan miliknya.


Image by Waseem Ali from Pixabay