Posted in

Lamaran Kilat dari Masa Lalu

Lamaran Kilat dari Masa Lalu
Lamaran Kilat dari Masa Lalu

Sudah lebih dari dua belas tahun sejak terakhir kali Wimara benar-benar ngobrol panjang lebar dengan Anton—teman kuliahnya dulu yang terkenal cuek tapi supel. Mereka berteman baik sejak awal kuliah, dan meskipun sempat hilang kabar, media sosial membuat mereka tetap saling tahu kabar masing-masing.

Suatu sore, Anton tiba-tiba mengirim pesan. Sederhana, tapi mengejutkan.

“Wim, bisa ketemu nggak? Ada yang pengen gue omongin langsung.”

Wimara sempat ragu. Tapi setelah menimbang, dia pikir: “Yah, nggak ada salahnya juga. Kita temenan dari lama. Lagian, selama dia gak bikin ribet, ya udah.” Demi jaga-jaga, Wimara ajak salah satu temannya untuk ikut, meski nanti duduknya agak pisah.

Mereka bertemu di sebuah kafe sederhana. Anton datang dengan senyuman ramah dan gaya santainya yang tidak banyak berubah. Mereka ngobrol ngalor-ngidul, mulai dari kenangan kuliah, kerjaan sekarang, sampai gosip teman-teman lama. Suasananya cukup santai.

Tapi di tengah obrolan, Anton tiba-tiba serius.

“Wim… sebenernya, gue udah suka sama lo dari jaman kuliah dulu.”

Wimara tersentak. “Hah?”

“Lo single, gue juga single. Gimana kalau lo nikah sama gue? Gue janji bakal jadi suami yang baik buat lo.”

Wimara menatapnya, setengah tertegun, setengah menahan tawa dalam hati.
Suami baik? Kentut busuk! Cerai karena kejaran debt collector pinjol, ditambah maniak game online 24 jam.

Ia menghela napas pelan, menyesap kopinya, lalu menjawab tanpa basa-basi.

“Ton, BI checking lo tuh merah. Gue sih ogah nikah sama cowok yang dikejar-kejar utang. Anaknya aja kasihan, gak dikasih nafkah sama bapaknya.”

Anton langsung tersinggung. Matanya melotot, tapi tetap mencoba tenang.

“Lo tuh cewek matre, Wim. Liat cowok dari duitnya doang.”

Wimara mengangkat alis, geli.

“Kalau matre, gue gak bakal dateng ke sini, nongkrong di kafe murah kayak gini. Gue cuma realistis. Hidup itu butuh uang, bukan cuma janji manis dan skill push rank.”

Mereka pun terdiam. Tak lama, Wimara berdiri dan pamit dengan alasan temannya harus pulang lebih dulu. Anton hanya mengangguk kaku, mungkin masih mencoba mencerna kenyataan bahwa lamaran kilatnya mental lebih cepat dari koneksi internet warnet zaman dulu.


Image by lodithaddeus from Pixabay