Posted in

Luka yang Menghidupkan

Luka yang Menghidupkan
Luka yang Menghidupkan

Aku masih mengingat hari itu seperti baru kemarin terjadi. Hari saat semua berubah. Saat perselingkuhan yang kusebut mustahil itu, akhirnya terbongkar—dengan cara yang tidak pernah kuduga.

Anak keduaku, yang masih berusia dua tahun, sedang bermain dengan HP ibunya. Tiba-tiba ia menangis, karena videonya terhenti oleh notifikasi WhatsApp. Aku mendekat untuk membantunya. Tapi mataku menangkap sesuatu. Notifikasi itu terkunci. Aku baru tahu ada fitur untuk mengunci pesan. Ada rasa penasaran yang tak bisa kuabaikan.

Kucoba masuk ke pengaturan, dan tanpa diduga, sidik jariku berhasil membuka kunci itu. Dan… astagfirullah. Pesan-pesan mesra dengan seorang lelaki muncul begitu saja. Dunia seperti runtuh di hadapanku.

Dadaku panas. Jantungku berdetak tak karuan. Kugulirkan layar, kubaca satu per satu pesan-pesan mereka. Dari yang ringan, hingga yang membuat jiwaku nyaris lepas dari raga. Obrolan itu sudah berlangsung selama empat bulan. Empat bulan… Aku tak percaya, istriku—yang selama ini kujaga, kusayangi, dan kuanggap wanita salihah—ternyata telah menyimpan rahasia sekelam itu.

Aku segera membawa anak-anak ke rumah neneknya yang hanya bersebelahan dengan rumah kami. Lalu kutatap wajah istriku yang sedang tertidur. Kubangunkan dia, dan tanpa berkata banyak, kutunjukkan chat itu. Ia langsung menangis, bersujud di kakiku. Dia meminta dipukul, tapi aku hanya diam, menahan semua emosi yang menumpuk dalam dada.

Kuminta dia membuka kembali chat itu, tapi dengan ketakutan ia malah menghapus semuanya. Aku semakin marah. Kusita seluruh HP-nya. Ku-recovery semua chat yang dihapus, kupindahkan ke HP-ku dan ke komputer. Bukti itu harus tetap ada.

Malam itu aku menangis dalam diam. Air mataku jatuh tanpa henti. Ia terus memelukku, meminta maaf, memohon agar dipukul. Tapi aku tidak melakukan itu. Tidak akan pernah.

Aku interogasi dia sampai ke akar. Sejak kapan, di mana, berapa kali, sudah sampai mana. Sampai tak ada lagi ruang untuk dia menyembunyikan sesuatu. Aku kira mereka belum melakukan hubungan suami istri… tapi ternyata, hal paling menyakitkan itu terjadi pada hari ulang tahunnya—hari di mana aku, suaminya, tidak pernah merayakannya karena keyakinan kami. Tapi lelaki itu… memberinya ucapan. Dan lebih dari itu.

Besoknya aku mengemudi sendiri. Niatku satu: menemui lelaki itu dan menghajarnya. Aku menyetir sambil menangis. Kutelpon dia, kumaki-maki, meski dia terus meminta maaf. Tapi di tengah perjalanan, aku berhenti. Aku teringat anak-anakku. Aku sadar, kalau aku melanjutkan, harga diriku mungkin terpuaskan, tapi masa depan keluargaku bisa hancur.

Aku putar arah. Menuju rumah teman istriku. Di sana aku menangis, menceritakan semuanya. Ia mendengarkan dengan bijak, dan menyarankan agar hal ini tidak langsung diumbar, tapi dibawa ke mertua.

Siang itu juga, aku dan istriku pergi ke rumah orang tuanya, sekitar 100 km dari rumah kami. Anak-anak kutinggalkan. Setibanya di sana, ia langsung menangis memeluk ayahnya. Kami duduk bersama. Aku ceritakan semua. Ayah dan ibunya menasehatinya. Mereka memintaku untuk bersabar, untuk memperbaikinya, bukan membuangnya.

Hari-hari berikutnya, adalah hari-hari penuh luka. Tapi aku memilih bertahan. Aku memilih memaafkan. Karena aku ingin anak-anakku tumbuh dengan orang tua yang utuh. Biarlah lukanya tinggal di hatiku, selama anak-anakku tetap bisa tersenyum.

Dan ajaibnya, sejak saat itu, istriku berubah. Dari yang sebelumnya sering marah, kini lembut dan penuh sabar. Dari yang acuh dalam ibadah, kini tak pernah lalai. Ia kini lebih menuruti, lebih perhatian, lebih mencintai. Aibnya tetap kujaga. Tak ada yang tahu, kecuali orang tuanya dan satu saudarinya. Di mata dunia, ia tetap perempuan terhormat.

Kini kami mulai membangun kembali istana yang runtuh. Dari nol. Aku, suami yang memilih memaafkan, menelan luka, demi masa depan anak-anak dan karena keyakinanku—bahwa mungkin ini adalah jalan Allah untuk menggugurkan dosa, dan mengubah arah hidup kami menjadi lebih baik.


Photo by Tá Focando on Unsplash