Posted in

Luka yang Tak Tampak

Luka yang Tak Tampak
Luka yang Tak Tampak

Namaku Rani. Aku seorang ibu rumah tangga, sudah hampir lima belas tahun menikah, delapan belas tahun bersama lelaki yang dulu kusebut rumah. Cinta pertama, cinta yang kupilih ketika dunia rasanya belum banyak menuntut apa-apa. Dulu, aku hanya tahu mencinta. Tulus, penuh harap, polos.

Tapi di tahun kedua, retakan mulai muncul. Bukan karena aku tak setia, bukan karena aku berhenti mencintai. Tapi karena dia mulai menghadirkan orang ketiga… lalu keempat… dan entah keberapa. Yang kutahu, selama ini aku berusaha berpikir positif: “Ah, mungkin cuma chat, cuma makan di luar.” Sesakit itu pun aku masih mencoba menenangkan hatiku sendiri. Mencari alasan agar tetap bisa bertahan.

Puncaknya datang di akhir 2018. Sebuah tangkapan layar chat di Google Foto, percakapan menjijikkan dengan seorang perempuan. Entah kenapa dia menyimpannya, mungkin karena dia tak pernah benar-benar berniat menyembunyikan, atau karena dia merasa tak akan pernah ketahuan. Saat itu, untuk pertama kalinya aku bertanya dengan sungguh-sungguh dan memaksa dia untuk jujur.

“Apa kamu pernah tidur dengan perempuan lain?”

Dan dia menjawab… pernah.

Tak ada penjelasan, tak ada tempat, tak ada waktu, apalagi permintaan maaf yang tulus. Yang ada hanya pengakuan yang menyayat seluruh kepercayaanku. Satu kata itu cukup membuat tubuhku menggigil dalam diam. Cinta yang selama ini kubalut dengan harapan, perlahan-lahan mulai hancur jadi debu.

Malam itu, aku tidak tidur di lengannya. Aku memunggunginya. Hatiku kosong, dingin, kebas. Biasanya aku manja, suka memeluknya seperti anak kecil, tapi tidak malam itu. Untuk pertama kalinya, aku merasa menjadi istri yang bukan lagi istri. Hanya seseorang yang tinggal di rumah yang sama, tapi jiwanya sudah mati sebagian.

Kadang orang bertanya, “Kalau dari dulu sudah kelihatan red flag, kenapa tetap dinikahi? Kenapa bertahan selama lima belas tahun?”

Jawabannya sederhana: karena dulu aku tidak seberani sekarang. Karena aku berharap. Karena aku terlalu bodoh untuk percaya bahwa seseorang yang mengkhianati bisa berubah jika cukup dicintai. Tapi aku salah. Dan sekarang aku mulai melihatnya bukan lagi sebagai suami, tapi sebagai seseorang yang terus melukai luka yang sama, berkali-kali, tanpa pernah merasa perlu mengobatinya.

Dia pintar. Sangat pintar membolak-balikkan keadaan. Ketika aku marah, dia balik menyalahkan. Ketika aku diam, dia lebih lama mendiamkanku. Silent treatment adalah senjata yang dia gunakan dengan presisi, membuatku merasa aku yang gila, aku yang terlalu sensitif.

Aku pernah mencoba berobat—ruqyah, hipnoterapi. Tapi pikiranku tetap kacau. Overthinking jadi teman tidurku setiap malam. Aku ingin lepas. Tapi hatiku terbelah: anak-anak, keluarga, masa depan. Terlalu banyak hal yang ikut dalam pertimbanganku.

Belakangan ini dia bilang ingin berubah. Tapi sikapnya tetap dingin. Dia memaksaku ikhlas, memaksaku menerima semua kesalahan yang dia buat seakan aku hanya perlu menghapus semuanya begitu saja. Tapi bagaimana bisa aku ikhlas kalau lukaku tak pernah ia obati? Bagaimana aku bisa melupakan kalau dia bahkan tak pernah benar-benar meminta maaf?

Aku belum tahu akan ke mana hidupku setelah ini. Tapi yang pasti, aku tak lagi orang yang sama seperti dulu. Cinta itu mungkin masih ada, tapi sudah tak murni lagi. Terlalu banyak darah di atasnya.


Image by OpenClipart-Vectors from Pixabay