Posted in

Rumah Tangga Dua Dunia

Rumah Tangga Dua Dunia
Rumah Tangga Dua Dunia

Dulu, setelah menikah, Mira tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. Setiap momen kecil bersama suaminya, Dio, pasti ia abadikan dan unggah ke media sosial. Entah itu saat mereka ngopi pagi bareng, belanja mingguan, atau sekadar bercanda di dapur.

Satu hari, sebuah komentar dari sahabat lamanya muncul di salah satu unggahan. Namanya Rini, sahabat Mira sejak SMK.

“Yah, namanya juga pengantin baru. Masih bucin-bucinnya. Liat aja nanti setahun ke depan 😏,” tulis Rini.

Mira tak marah. Ia justru membalas santai, “Semoga satu tahun ke depan atau puluhan tahun lagi, aku dan Dio tetap romantis ya, Rin. Aamiin.”

Sudah bertahun-tahun Mira dan Rini tak bertemu langsung. Tapi beberapa bulan setelah Mira menikah, Rini mengabari lewat chat. Ia baru saja melahirkan anak ketiganya dan ingin meminjam uang. Sambil sedikit curhat, ia menambahkan, “Suamiku makin aneh, Mir. Nggak ngerti deh harus gimana…”

Mira dan Dio akhirnya menyempatkan waktu menjenguk ke rumah Rini. Tapi anehnya, baru saja mereka sampai, suami Rini langsung pergi begitu saja tanpa banyak basa-basi.

Di dalam rumah kecil yang hangat tapi tampak lelah, Rini bercerita.

“Setiap aku hamil, dia pasti nanya: ‘Ini anak siapa?’”
“Karena katanya dia ngerasa nggak pernah ‘keluar di dalem’…”

Mira nyaris tak bisa menyembunyikan rasa kesalnya. “Dia pikir kamu siapa? Perempuan jalanan?”

Rini cuma tertawa pahit.

Setelah pertemuan itu, mereka tak sempat bertemu lagi bertahun-tahun, karena rumah mereka berjauhan. Tapi komunikasi tetap lancar. Rini sering mengirim pesan suara, cerita tentang betapa patriarkinya sang suami—pelit, egois, tak peduli anak, dan hampir tak pernah berperan sebagai kepala rumah tangga.

Hingga akhirnya Mira dan Dio pindah rumah—kebetulan hanya berjarak beberapa gang dari rumah Rini. Persahabatan lama kembali hangat. Mereka sering kumpul bareng teman-teman geng SMK. Setiap kumpul, cerita rumah tangga Rini menjadi warna tersendiri. Kadang lucu, kadang getir, kadang membuat semua teman terdiam penuh rasa prihatin.

Sekarang, Rini sudah punya empat anak. Dan seperti biasa, saat hamil anak keempat, suaminya lagi-lagi bertanya:

“Ini anak siapa?”

Mereka semua tertawa getir.

Rini menikah segera setelah lulus SMK. Sejak itu, ia berdagang kecil-kecilan. Jualan apapun yang halal dan bisa membantu dapur tetap ngebul. Suaminya memang bekerja dan bergaji cukup besar, tapi hanya memberi uang belanja Rp1,5 juta sebulan.

“Itu udah buat semuanya,” keluh Rini suatu hari.
“Buat makan sehari-hari, jajan anak empat, token, air, bayar rumah. Dia sendiri tinggal terima bersih.”

Ironisnya, sang suami ogah makan sederhana. Tak mau ikan, apalagi tempe tahu. Harus ayam, atau diganti udang atau cumi. Kalau Rini tak masak makanan ‘enak’, uang belanjanya dipotong Rp50 ribu sehari.

Bayangkan, tiga hari gak masak sesuai selera = potong Rp150 ribu.

Belum lagi rutinitas pagi. Rini harus bangun lebih dulu untuk masak air panas buat mandi suaminya. Kalau lupa, suaminya bisa tantrum. Iya, tantrum, seperti balita.

Pernah suatu hari Rini chat suaminya, “Bisa gak bawain bakso pas pulang? Lagi ngidam banget.”

Dibawain, iya. Tapi…

“Besoknya uang belanjaku langsung dipotong sebesar harga bakso itu,” cerita Rini sambil nyengir pahit.

Mira mendengarkan semua itu. Kadang tak bisa berkata-kata. Di matanya, sahabatnya itu adalah perempuan terkuat yang pernah ia kenal.


Photo by Muhammad Arifin Nursalim on Unsplash