Posted in

Rumah Tanpa Jendela

Rumah Tanpa Jendela
Rumah Tanpa Jendela

Bagian 1: Perempuan yang Pernah Berdiri Sendiri

Namanya Laras. Ia pernah menjadi perempuan yang kuat berdiri di atas kakinya sendiri. Delapan tahun lamanya ia menyandang status janda dengan satu anak yang ia besarkan sendiri—tanpa sandaran, tanpa penghibur, tanpa keluh kesah terdengar. Laras tak pernah meminta banyak dari dunia, hanya ingin hidup yang damai dan anak yang bahagia.

Namun, seperti embun yang akhirnya jatuh oleh terpaan angin, Laras pun menyerah pada desakan. Keluarganya, yang katanya tahu mana baik dan buruk, meyakinkan bahwa Rafi, laki-laki itu, adalah jawabannya. “Dia orangnya agamis, ekonominya mapan, dan yang paling penting, dia baik hati,” kata mereka. Royal kepada siapa pun, katanya. Seperti sumur tak pernah kering.

Laras tak sepenuhnya yakin, tapi lelah juga berdebat. Dan mungkin, di sudut hatinya yang sunyi, ia pun ingin disayangi. Maka menikahlah ia.

Bagian 2: Rumah Tanpa Jendela

Awalnya, Laras mencoba percaya. Mungkin ia hanya perlu waktu. Tapi waktu demi waktu, semua yang indah hanya tinggal ilusi.

Rafi ternyata jauh dari yang dikisahkan. Agamanya hanya bungkus, isinya kosong. Ekonominya rapuh, tapi gengsinya mengangkasa. Dan yang paling menyakitkan—dia pelit. Bukan hanya pada uang, tapi juga kasih sayang, perhatian, dan rasa hormat.

Setiap kali Laras meminta uang, bahkan hanya sekadar jajan, Rafi mengeluh dan marah. “Aku juga lagi gak ada uang!” katanya keras. Tapi anehnya, di luar rumah, dia masih bisa mentraktir teman-teman atau keluarga jauhnya. Rumah tangga mereka pun perlahan menjadi beku. Tidak ada hangat, tidak ada cukup. Bahkan untuk biaya masuk SMK anak mereka, uang pun tak ada.

Empat tahun sudah mereka menikah. Dua anak lagi lahir dari perut Laras, dan kini ia sedang menggendong yang paling kecil—baru dua bulan. Tapi tak ada ketenangan. Hanya kecemasan yang terus mengejar: “Bagaimana aku membesarkan mereka semua kalau begini terus?”

Bagian 3: Cahaya dari Negeri Orang

Beberapa malam terakhir, Laras tak bisa tidur. Ia menatap langit-langit yang gelap, seperti masa depannya. Ia memikirkan satu keputusan besar: menjadi pekerja migran, menjadi TKW. Keluar negeri, demi bisa menghidupi anak-anaknya. Ia tahu berat. Ia tahu berpisah dari bayi yang baru dilahirkan bukan perkara mudah. Tapi dia juga tahu, diam tak akan membawa mereka keluar dari jurang ini.

Hatinya terbelah. Setiap melihat senyum anak-anaknya, ia merasa dunia ini tak adil. Tapi setiap memikirkan masa depan mereka, ia tahu: mungkin ia harus menjadi ‘jahat’ dulu untuk bisa menjadi ibu yang baik nanti.

Bagian 4: Mungkin Ini Jalanku

Di depan cermin, Laras melihat dirinya sendiri. Perempuan yang pernah tabah delapan tahun sendiri, kini kembali diuji dalam bentuk yang berbeda. Ia menggenggam ujung jilbabnya, menatap jauh ke dalam matanya sendiri.

“Aku tak boleh lagi membiarkan hidupku digenggam oleh keputusan orang lain,” bisiknya lirih.

Mungkin keputusannya belum bulat. Tapi satu hal yang pasti: Laras sedang belajar membuka jendela di rumah yang selama ini gelap. Ia ingin melihat dunia lain, peluang lain, dan kehidupan lain—yang layak ia perjuangkan, bukan hanya demi dirinya… tapi demi anak-anaknya yang layak mendapatkan segalanya.


Photo by Erik Odiin on Unsplash