Posted in

Rumah yang Terlupakan

Rumah yang Terlupakan
Rumah yang Terlupakan

Tiga tahun lalu, Anton membeli rumah kecil di pinggiran kota sebagai investasi masa depan. Letaknya cukup strategis, tidak terlalu jauh dari pusat kota, tapi cukup tenang untuk ditinggali. Namun, sejak dibeli, rumah itu belum pernah ia datangi lagi. Kesibukan pekerjaan dan kehidupan di kota lain membuatnya lupa bahwa ia pernah memiliki sebidang rumah yang harusnya kini jadi aset berharganya.

Sampai akhirnya, suatu hari di awal musim kemarau, Anton memutuskan untuk mampir ke rumah tersebut. Ia membawa kunci lama yang sudah sedikit berkarat, dan dengan langkah pelan menyusuri jalan yang sudah mulai asing baginya.

Tapi saat sampai di depan rumah… Anton tertegun.

“Lho… ini rumah siapa ya?” gumamnya.

Rumah itu telah berubah total. Tak ada lagi pagar besi tua yang dulu reot. Kini, sebuah kanopi berdiri kokoh di halaman yang sudah dilapisi ubin keramik mengilap. Di depannya, terpampang papan besar bertuliskan “Cuci Mobil & Motor – Lengkap! Buka 24 Jam.” Bahkan ada depo es teh berdiri manis di sisi kanan halaman.

Saking bingungnya, Anton mengira ia salah alamat.

Ia segera menelepon anaknya, meminta foto sertifikat rumah yang dulu ia simpan di laci lemari kayu. Dan setelah mencocokkan nomor dan alamat—benar! Itu memang rumahnya!

“Gila… ini rumah gue!” batin Anton mulai panas.

Masih bingung dan penasaran, ia berjalan ke samping rumah. Dulu, ada seorang wanita paruh baya bernama Bu Widuri yang pernah meneleponnya, meminta izin berjualan nasi uduk di halaman depan. Karena kasihan, Anton waktu itu mengiyakan.

Tapi kini, bukan hanya nasi uduk—rumah itu seperti sudah berubah jadi area komersial penuh!

Anton mencoba mencari Bu Widuri, namun tetangga bilang dia sudah pindah ke blok lain. Dengan kesal, Anton akhirnya masuk ke area pencucian mobil dan bertanya pada perempuan di balik meja kasir.

“Maaf, ini usaha siapa ya?”

Perempuan itu menatap tajam.

“Ibu ini siapa?” jawabnya ketus.

Anton menarik napas, menahan emosi. Ia menjelaskan bahwa ia adalah pemilik rumah ini, dan menunjukkan foto sertifikat yang baru dikirim anaknya.

Raut wajah perempuan itu langsung berubah. Dari garang menjadi gugup.

Ia akhirnya mengaku bahwa mereka menyewa tempat ini dari Bu Widuri, yang katanya pemilik rumah.

Dengan setengah marah, Anton meminta diantar ke tempat tinggal Bu Widuri sekarang. Mereka pun menelusuri gang-gang kecil, hingga sampai ke sebuah rumah di Blok J. Di sanalah Bu Widuri tinggal—menumpang di rumah saudaranya, katanya sambil menangis. Ia mengaku telah diusir anak tirinya dan tak punya tempat lagi. Karena terdesak, ia menyewakan rumah Anton ke orang lain selama satu tahun penuh.

“Saya khilaf, Pak Anton… saya butuh uang… saya mohon maaf… saya nggak ada penghasilan sama sekali…”

Anton mendidih. Amarahnya yang ditahan-tahan akhirnya meledak.

“Kamu nggak punya hak! Ini rumah saya! Semua usaha itu harus tutup! Hari ini juga! Kalau bandel, saya laporkan ke polisi!”

Anton kembali ke hotel dengan tubuh lemas dan kepala berat. Jiwa dan raganya terkuras. Ia menatap langit malam dari jendela kamar sambil bertanya dalam hati, “Bagaimana bisa orang memanfaatkan kebaikan saya sebegitu jauh?”

Namun, sorenya, orang yang mengelola usaha cuci mobil itu datang bersama Bu Widuri. Keduanya memohon-mohon agar tidak diusir. Mereka berjanji akan membayar sewa langsung pada Anton.

Anton termenung. Rasa marahnya masih ada, tapi di dalam hatinya terselip rasa kasihan.

Akhirnya, dengan syarat: semua harus dibuat secara tertulis, lengkap dengan materai, pembayaran dilakukan di depan sebelum ia pulang kembali ke kotanya, dan tahun depan rumah itu harus dikosongkan.

Anton pulang keesokan harinya, masih dengan rasa letih dan hati yang tak tenang. Tapi setidaknya, haknya sudah kembali. Ia tahu, kadang terlalu baik juga bisa berujung jadi bencana—tapi ia juga tahu, bahwa memberi kesempatan kedua kepada orang yang benar-benar menyesal… mungkin itulah sedikit bekal manusia untuk tetap bisa tidur nyenyak di malam hari.


Photo by Kam Idris on Unsplash