Posted in

Satset ala Takdir

Satset ala Takdir
Satset ala Takdir

6 April
Iseng. Itu niat awal saat aku menginstal Tinder. Bukan karena kesepian, cuma… bosan. Teman-teman bilang, “Coba aja, siapa tahu jodohmu bukan di seputaran Jakarta.” Aku ketawa. Ya kali jodoh dari aplikasi?

Tiga hari swipe kanan-kiri, eh 9 April aku matched. Namanya Luca, bule dari Italia. Bio-nya simpel, tapi fotonya bikin jantung berhenti sebentar. Gaya senyumnya, cara dia duduk santai di atas motor klasik, dan satu foto waktu dia pegang pizza sambil ketawa—seolah bilang, “Aku hidup buat hal-hal sederhana.” Dan aku suka itu.

Kami ngobrol tiap hari. Awalnya bahasa Inggris belepotan, tapi lama-lama nyambung juga. Dia sopan, sabar, dan surprisingly lucu. Ada koneksi yang nggak bisa dijelasin—yang biasanya butuh waktu bulan-bulan, ini cuma hitungan minggu.


1 Mei
Tiba-tiba aja dia bilang:
“I bought a ticket. I want to meet you. For real.”

Gila. Aku deg-degan setengah mati. Tapi dia beneran datang ke Jakarta. Kami ketemu di sebuah kafe kecil di Kemang, dan semua rasa canggung langsung cair begitu dia bilang, “You’re even more beautiful in real life.”

Sejak itu, semuanya mengalir. Nggak buru-buru, tapi juga nggak nunggu-nunggu.


Oktober
Luca datang ke rumah. Pakai batik. Bawa buah tangan, dan… melamar. Ke orangtuaku.

Bapakku diem lama, terus bilang, “Kalau kamu yakin, dan dia bertanggung jawab, kami ikhlas.”


Desember
Kami menikah. Sederhana di Jakarta, dengan nasi tumpeng dan teman-teman dekat. Seolah semua ini ditulis di garis hidupku, dan aku cuma tinggal membaca bab demi bab.


Bulan berikutnya: Italia
Menikah lagi dengan keluarganya, di desa kecil yang dikelilingi ladang anggur. Lalu aku resmi jadi warga dunia, tinggal di Eropa, memulai hidup baru.


Dan setiap kali aku cerita ke orang-orang, selalu ada komentar begini:

“Gila, kamu satset banget!”

Ya. Satset bukan karena buru-buru, tapi karena ketika semuanya terasa benar, kenapa harus nunggu lama?


Ada yang satset kayak aku juga?


Photo by Álvaro CvG on Unsplash