Posted in

Satu Rekening, Dua Wajah (Part 2)

Satu Rekening, Dua Wajah
Satu Rekening, Dua Wajah

Liora menatap layar CCTV yang kini diam di frame terakhir: Tania sedang berdiri di depan mesin ATM, wajahnya jelas, tangannya menekan tombol, lalu menarik uang tunai. Semua terekam. Semua tanpa bisa disangkal.

Tangannya menggenggam amplop coklat berisi foto hasil print CCTV. Di luar, hujan gerimis turun, tapi di dalam hatinya, badai sudah meledak lebih dulu.


Besoknya, seperti takdir memberi kesempatan, Tania kembali datang ke kantor. Meski sudah resign sehari sebelumnya, katanya masih ada urusan administrasi yang belum beres. Liora tahu ini momen yang tidak bisa ia lewatkan.

Dia memanggil Tania dengan tenang. Ternyata, suami Tania ikut mengantar, jadi Liora mengajak mereka berdua masuk ke ruang istirahat. Teman sekantor yang dekat dengan Liora juga ikut, diam di sudut sebagai saksi, tanpa berkata apa pun.

Liora menatap mereka berdua. Wajahnya tetap tenang, tidak sedikit pun menunjukkan kemarahan, hanya ada kelelahan dan rasa kecewa yang dalam.

“Aku cuma mau ngomong baik-baik,” katanya pelan.
“Ada seseorang yang ambil uang dari ATM-ku, tanpa sepengetahuanku. Dan aku sudah dapat buktinya.”
(Ia menunjuk ke amplop di meja.)
“Kalau kalian mau lihat, boleh. Tapi sepertinya nggak perlu ya.”

Suasana langsung sunyi. Tania menunduk. Suaminya tampak kaget, seperti baru dijatuhi petir. Liora melanjutkan:

“Bosku sudah mau bawa ini ke polisi. Tapi aku tahan… aku pikir, kalian punya anak, aku masih bisa selesaikan ini tanpa rusak-rusakan. Tapi aku tanya sekarang—kalian mau ganti kapan?”

Tania tak menjawab. Mulutnya seperti terkunci. Tapi suaminya, dengan suara bergetar, berkata, “Kami akan ganti, Mbak. Kami akan selesaikan ini.”


Hari itu juga, Liora menyiapkan surat perjanjian di atas materai. Ia tulis sendiri, rapi dan jelas. Di sana tertera jumlah uang, tanggal pengembalian, dan tanda tangan para pihak. Ada tanda tangan Liora, Tania, suaminya, dan satu orang saksi.

Di tanggal yang dijanjikan, siang hari, Liora mengirim pesan pengingat. Tak lama, uang itu ditransfer ke rekeningnya. Lengkap.

Setelah transfer selesai, baru Tania mengirim pesan:

“Maaf ya, Mbak…”

Itu saja. Tidak ada penjelasan, tidak ada pembelaan, tidak ada permintaan maaf yang benar-benar menunjukkan penyesalan. Tapi bagi Liora, itu sudah cukup. Dia membalas dengan satu pesan sederhana:

“Kepercayaan itu mahal. Sekali rusak, susah diperbaiki. Jaga itu baik-baik.”


Sampai hari ini, Liora dan Tania tidak pernah saling berkomunikasi lagi. Tapi Liora tahu, Tania masih menyimpan nomornya, masih follow Instagram-nya, bahkan masih sering melihat statusnya diam-diam.

Liora tidak memblokir. Tidak menghapus. Baginya, bukan soal balas dendam. Tapi soal belajar:
Bahwa tidak semua yang tertawa bersamamu, juga menangis bersamamu.
Bahwa tak semua teman seperjalanan adalah teman sejiwa.

Dan yang paling penting:
Bahwa menyelesaikan masalah dengan kepala dingin seringkali lebih menampar dibandingkan teriak-teriak.


Liora juga sempat mengingatkan teman-teman sekantornya:

“Tolong ya, jangan bahas soal ini. Anggap gak pernah terjadi. Biar saja jadi pelajaran buat dia. Kita gak perlu hina atau maki. Kadang, diam yang tenang itu lebih nyakitin.”

Dan memang, sejak saat itu, tak satu pun dari mereka menyebut-nyebut kejadian itu lagi. Tapi semua jadi lebih waspada. Karena mereka tahu, kejahatan kadang datang dari tangan yang pernah menyentuh bahumu, dan senyuman yang pernah membuatmu percaya.


Photo by Nathan Dumlao on Unsplash