Posted in

Semangkuk Mie Ayam dan Sebuah Keputusan

Semangkuk Mie Ayam dan Sebuah Keputusan
Semangkuk Mie Ayam dan Sebuah Keputusan

Di sore yang agak mendung, Lana sedang menyiram tanaman kecil di teras rumah ketika ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tak sering muncul di layar: Sari, saudara jauh dari pihak ayahnya.

“Lana, aku bikin mie ayam, pengen main ke rumah bawain buat kamu sekeluarga ya…”

Lana tersenyum kecil. Meski sedikit heran, ia membalas singkat,

“Oh ya, ayo main ke sini.”

Dalam hatinya, Lana tahu… kalau ada saudara lama tiba-tiba muncul, apalagi bawa makanan, biasanya bukan cuma sekadar silaturahmi.

Sore itu, Sari datang dengan satu panci mie ayam, anaknya dua orang menyusul di belakang. Mereka duduk sambil cerita, lalu tiba-tiba suasana berubah.

“Lana… sebenernya aku lagi susah. Beras habis, anak-anak ga ada uang jajan, Mas Deni juga udah sebulan ga kerja,” Sari mengeluh lirih, suaranya nyaris tenggelam di antara desahan mie ayam yang mengepul.

Lana dan suaminya, Rangga, saling pandang. Iba menyeruak. Tanpa banyak tanya, Rangga masuk kamar dan kembali dengan selembar uang seratus ribuan, sepuluh lembar.

“Ini, dipakai buat makan, ya. Tolong jangan buat yang lain-lain.”

Sari memeluk uang itu seperti bayi kecil. Berkali-kali mengucap syukur dan terima kasih.


Dua minggu berlalu, dan notifikasi ponsel Lana kembali menampilkan nama yang sama.

“Dek, maaf ya. Uangnya kemarin kami pakai buat mudik. Soalnya ibunya Mas Deni kangen banget…”

Lana terdiam. Sesaat, ia hanya mampu membalas:

“Ya udah, terserah. Itu udah jadi hak kalian…”

Di dalam hati, ia mencoba memahami. Tapi ada perasaan janggal yang tak bisa dibungkam.


Beberapa hari setelah pesan itu, Sari datang lagi. Tapi kali ini bersama suaminya. Mereka muncul begitu saja di depan rumah, tanpa kabar.

Lana duduk di sofa ruang tamu, Rangga sedang di belakang. Sari memilih duduk di lantai. Saat Lana menyuruhnya naik ke sofa, dia geleng cepat.

Sari mulai menangis.

“Listrik rumah kami nunggak dua bulan, Lan. 750 ribu. Kalo hari ini ga dibayar, dicabut katanya. Aku mohon, bisa bantu lagi?”

Lana tertegun. Belum sempat menjawab, Mas Deni—suaminya—berdiri dan berseru ringan,

“Aku keluar dulu ya, asem mulutnya, pengen ngerokok.”

Ia keluar rumah, meninggalkan istrinya menangis sendirian.

Lana terdiam cukup lama. Kepalanya dipenuhi pertanyaan yang tak berani ia ucapkan.

“Kenapa uang itu dulu ga dipakai untuk bayar listrik dan makan anak-anakmu? Kenapa harus mudik kalau cuma karena ‘kangen’?”

Namun kata-kata itu hanya bergema dalam pikirannya.

Akhirnya, ia hanya mengelus dada. Mencoba tetap tenang. Tapi di dalam hatinya, ada sesuatu yang perlahan berubah. Rasa iba memang tetap ada, tapi kepercayaan? Entah sudah di mana sekarang.


Hidup memang tak selalu hitam putih. Tapi kadang, garis abu-abunya terlalu buram hingga sulit dibedakan antara butuh dan pilihan buruk. Semangkuk mie ayam bisa jadi awal yang tulus, tapi keputusan setelahnya lah yang menentukan apakah cerita ini layak untuk dikenang… atau disesali.

Photo by Fala Syam on Unsplash