Posted in

Seragam Pernikahan, Luka yang Diulang

Seragam Pernikahan, Luka yang Diulang
Seragam Pernikahan, Luka yang Diulang

Beberapa waktu lalu, sepupu gue akhirnya menikah. Tapi bukan itu yang jadi sorotan utama buat gue. Yang bikin gue kepikiran sampai sekarang adalah soal permintaan mereka yang nggak masuk akal: semua keluarga harus pakai seragam sesuai warna tema pernikahan, tapi tanpa disediakan kain ataupun ongkos jahit. Permintaan ini mungkin kelihatan sepele buat sebagian orang, tapi buat gue yang pernah ada di posisi paling sulit, rasanya nyesek banget.

Gue masih ingat jelas waktu pertama kali sepupu gue mau nikah dulu, itu kejadiannya pas banget awal pandemi. Saat itu, gue baru banget di-PHK, lagi nganggur, dan cuma bisa bertahan hidup dari pesangon sama THR yang ada. Posisi gue juga sebagai tulang punggung keluarga, nyokap hidupnya dari gue. Terus tiba-tiba datang kabar pernikahan itu, dan keluarga diminta pakai seragam warna silver. Bahan harus beli sendiri dan jahit sendiri. Gue langsung mikir, apa nggak bisa nunggu dulu? Lihat kondisi keluarga, lihat keadaan gue. Tapi nyokap gue terlalu senang, terlalu semangat. Meskipun gue udah bilang jangan dulu, dia tetap ngotot.

Akhirnya nyokap bilang, “Gak apa-apa, mami yang bayar bahannya.” Uangnya dari mana? Dari bantuan pemerintah yang jumlahnya 700 ribuan, buat orang dengan penghasilan di bawah empat juta. Uang itu malah dipakai beli bahan satin dan brokat 3D buat dua orang, sekitar 600 ribu lebih. Dalam hati gue sedih banget. Uang itu bisa dipakai buat makan sebulan, bisa masak ayam dan daging. Tapi malah dibuang ke bahan baju yang ujung-ujungnya nggak pernah dipakai karena nikahannya… gagal.

Iya, bener. Setelah semua drama itu, ternyata pernikahannya nggak jadi. Sampai sekarang, tahun 2025, bahan yang dibeli itu masih teronggok di lemari. Nggak dijahit, nggak dipakai. Dan yang punya acara? Nggak pernah sekalipun minta maaf atau merasa bersalah. Nyokap gue juga akhirnya cuma bisa ngedumel ke gue, nggak berani ngomong ke adiknya. Gue yang menanggung beban mental dan finansial, tapi nggak ada yang benar-benar peduli.

Nah, pas akhirnya dia benar-benar nikah kali ini, dan lagi-lagi minta keluarga pakai seragam tanpa dikasih modal, gue udah habis kesabaran. Apalagi dengar kabarnya, pesta pernikahan ini digelar di hotel bintang lima, biayanya katanya sampai 1,5 miliar. Dekorasi mewah, makanan hotel mahal, undangan, souvenir, semua serba wah. Tapi ke keluarga sendiri, nggak sanggup keluar biaya buat sekadar bahan dan jahit baju seragam? Gila, ya.

Nyokap gue masih juga membela, katanya kita nanti pasti butuh mereka juga. Tapi gue udah nggak bisa terima alasan itu lagi. Gue bilang langsung ke nyokap gue, “Aku nggak butuh. Kalau butuh, aku lebih milih cari orang lain daripada harus kayak gini terus.” Buat gue, kalau suatu hari gue menikah dan minta orang pakai seragam, pasti gue modalin. Karena tamu itu datang dengan niat baik, ikut bahagia. Harusnya kita nggak bikin mereka repot apalagi rugi.

Gue nggak mau menormalkan sikap kayak gini. Karena mereka ini tiga bersaudara, dan kalau yang ini ribet, nanti yang satu lagi juga pasti ikut-ikutan. Yang pertama nikah sih nggak ribet sama sekali, tinggal datang aja. Tapi yang ini beda. Kalau sekarang gue nurut, besok-besok bisa jadi pola yang terus diulang. Dan alasan “nanti lo juga butuh mereka” nggak masuk buat gue. Gue anak tunggal, gak ada saudara lain. Jadi yang capek-capek urusan keluarga ya gue sendiri.

Akhirnya, gue mutusin buat pergi ke luar kota pas hari H-1 nikahan. Gue santai aja, nongkrong, ngopi. Daripada di rumah ribut terus sama nyokap. Gue udah sampai tahap capek banget urusan keluarga. Kenapa sih gak bisa normal aja? Kayak keluarga lain, yang nggak drama setiap ada acara.

Gue cuma berharap nyokap gue sadar. Bahwa sebaik-baiknya adik-adiknya, pada akhirnya yang selalu ada buat dia itu anaknya. Gue. Yang kerja keras siang malam, yang harus mikirin biaya hidup, dan yang jadi korban tiap kali drama keluarga muncul. Jangan paksa gue ikut jalan yang gak masuk akal. Hargailah kerja keras gue, dan mulai bedakan mana yang wajar, mana yang cuma buang-buang tenaga dan uang.


Photo by Kier in Sight Archives on Unsplash