Posted in

Sudah Sejak Dulu

Sudah Sejak Dulu
Sudah Sejak Dulu

Pernikahan kami baru seumur jagung. Anak kami pun belum genap dua tahun. Aku pikir kami sedang merangkai cerita bahagia—membangun keluarga kecil yang sederhana, tapi penuh cinta. Tapi ternyata, aku sendirian menulis kisah itu.

Hari itu, aku menemukan kenyataan yang menghancurkan dunia kecilku. Suamiku… selingkuh. Bukan baru. Bukan iseng. Tapi sudah lama. Bahkan sejak kami masih pacaran, sampai menikah, sampai anak kami lahir—perempuan itu tetap ada. Orang yang sama. Hubungan yang mereka jalani… bukan sekadar pesan diam-diam atau pelukan diam-diam. Tapi sudah sejauh itu. Berkali-kali. Hingga layak disebut pengkhianatan paling dalam: zina.

Selama pernikahan, ada saja hal yang membuat hati ini ganjil. Rasa yang nggak bisa dijelaskan, tapi selalu hadir. Setiap shalat, aku berdoa, “Ya Allah, kalau memang dia selingkuh, tolong tunjukkan sekarang… jangan nanti, jangan terlalu jauh… biar aku masih bisa memaafkan.” Tapi ternyata… sudah terlalu jauh. Sudah sangat jauh.

Sekarang aku di sini. Ditinggal berdarah-darah, dengan satu anak yang masih balita, dan hati yang rasanya seperti pecahan kaca.

Dan aku bertanya pada diriku sendiri: salahkah aku kalau memilih pergi? Salahkah aku kalau ingin menyelamatkan sisa harga diriku? Salahkah aku kalau tak ingin anakku tumbuh dengan melihat ibunya pura-pura bahagia demi rumah tangga yang sudah runtuh?

Jawabannya: tidak. Tidak salah.

Kamu bukan egois karena memilih pisah.
Kamu adalah ibu yang kuat, yang ingin menunjukkan kepada anakmu bahwa harga diri itu penting. Bahwa cinta tidak boleh menyakiti. Bahwa tidak semua luka harus dibiarkan terus menganga demi kata “bertahan”.

Anakmu mungkin tidak tumbuh bersama ayahnya. Tapi dia bisa tumbuh bersama ibunya yang utuh. Ibu yang tidak diam di tengah luka. Ibu yang memilih jujur pada dirinya sendiri dan pada kenyataan.

Dan itu… lebih dari cukup.


Photo by Bruno Kelzer on Unsplash