Posted in

Yang Dipilih Langit

Yang Dipilih Langit
Yang Dipilih Langit

Namaku Ayla. Sejak kecil aku bersahabat dengan seorang gadis yang luar biasa memesona. Kami tumbuh bersama di desa kecil, sekolah dasar hingga remaja, dan merantau bersama ke kota M untuk kuliah. Namanya Nadia—cantik, putih bersih, dan selalu jadi pusat perhatian para pria. Tapi aku tidak pernah merasa iri; dia sahabatku.

Di kota M, aku menjalin hubungan dengan Raka, lelaki yang kukenal saat ospek kampus. Kami menjalani hubungan selama tiga tahun, cukup serius dan sudah membicarakan masa depan. Sementara Nadia punya pacar juga, namanya Faris, mahasiswa dari kampus lain.

Saat aku lulus lebih dulu, aku harus kembali ke kota asal. Raka tetap di kota M untuk bekerja. Nadia dan Faris masih kuliah. Awalnya semua baik-baik saja. Raka sering main ke rumah Nadia, dan aku tak keberatan. Mereka memang akrab sejak dulu. Aku percaya mereka.

Sampai suatu hari, Nadia menelepon. Suaranya berat.

“Ayla… aku pikir kamu gak usah nikah sama Raka.”

Hatiku langsung dingin.

“Kenapa? Maksudmu apa?”

“Aku takut kamu marah… Tapi Raka sering ke rumahku, waktu Faris pulang kampung. Kami sering berdua. Katanya dia kesepian. Bahkan… gaji pertamanya pun aku yang menikmati.”

Dunia runtuh. Aku menangis, marah, dan tak percaya. Sahabatku, orang yang selama ini kupeluk dalam doa, justru yang menusuk paling dalam.

“Kenapa harus dia, Nad? Dari semua pria yang kamu kenal, kenapa pacarku?”

“Aku cuma ingin kamu tahu siapa dia sebenarnya… Aku mau menguji kesetiaannya.”

“Itu bukan hakmu!”

Hari itu juga, aku memutuskan Raka. Aku merasa lebih kehilangan Nadia daripada kehilangan Raka. Tapi Raka tak menyerah. Ia datang menyusulku ke kota asal. Ia minta maaf, bahkan memutuskan berhenti dari pekerjaannya dan membangun usaha kecil bersamaku. Aku luluh. Kami kembali bersama. Tapi rasa sakit itu terlalu dalam. Aku sering bersikap kasar. Empat bulan kemudian, aku benar-benar mengakhiri semuanya.

Aku pindah ke kota S untuk melanjutkan S2. Di sana, aku mulai membuka hati. Beberapa pria datang, tapi hanya satu yang membuatku nyaman—Eshan, teman lamaku. Bersamanya, aku merasa aman, tenang, dan dihargai. Kami berpacaran dua tahun. Tapi di waktu yang sama, aku masih sesekali berhubungan dengan Raka, hanya karena aku merasa bersalah dia tinggal di kotaku tanpa siapa-siapa.

Selama dua tahun itu, aku terus berdoa dan istikharah. Anehnya, aku selalu bermimpi Raka membawa aku dan kedua orang tuaku dalam mobil, bepergian jauh. Aku paham maknanya. Tapi aku masih memaksa hatiku memilih Eshan.

Raka—tampan, tinggi, atletis—adalah masa lalu yang ingin kulupakan. Bahkan aku sempat menyuruh sahabat-sahabatku mencarikan dia pacar. Tapi Raka tetap berkata:

“Mau kamu pacaran sama siapa pun, kamu tetap akan menikah denganku.”

Aku ceritakan semua ke Eshan. Dia mengerti, tapi aku juga kecewa. Saat aku memintanya bicara serius dengan ayahku, dia mengelak.

“Jodoh gak ke mana, Ay.”

“Iya, tapi sainganmu jelas ada di mana.”

Dua minggu setelah aku menyelesaikan sidang tesis, ibuku menelepon.

“Raka datang ke rumah, nak. Melamar kamu… lagi. Ini yang keempat kalinya. Ayahmu gak bisa menolak lagi.”

Saat itu, aku sedang makan malam dengan Eshan. Kami hanya bisa menangis, menggenggam tangan masing-masing dalam diam. Satu minggu ke depan, setiap kali kami bertemu, hanya tangis yang keluar.

Dan akhirnya… aku menikah dengan Raka. Dengan mata sembab, tanpa senyum bahagia. Bahkan malam pertama, aku menolak disentuh. Tapi dalam hati aku berdoa:

“Ya Allah… kembalikan cintaku pada suamiku, karena-Mu.”

Seiring waktu, Raka membuktikan dirinya. Ia menjadi imam yang sabar, lembut, bertanggung jawab. Ia rela mencuci piring, mengganti popok, bahkan belajar masak karena aku tak pandai di dapur. Aku mulai mencintainya lagi. Bukan karena lupa luka lama, tapi karena Allah memberi cinta yang baru—yang lebih tulus.

Nadia? Dia telah kuhapus dari hidupku. Dan selama delapan tahun pernikahan ini, aku tak ingin menoleh ke belakang.

Karena ternyata, janji langit tak pernah salah alamat.


Image by Bianca Van Dijk from Pixabay