Posted in

Roti Van dari Negeri Entah

Roti Van dari Negeri Entah
Roti Van dari Negeri Entah

Di sebuah desa kecil bernama Lembah Gading, tinggal seorang petani tua bernama Pak Wirya. Ia hidup sederhana bersama istrinya dan anak semata wayang mereka, Rani—gadis desa yang dikenal manis, penurut, tapi gampang terbuai kata-kata manis.

Rani bertemu Aksel van Drecht lewat media sosial. Lelaki itu mengaku sebagai dokter blasteran Jerman-Indonesia yang sedang membuka cabang toko roti artisan di Yogyakarta. Nama tokonya: “Roti van Drecht.”

“Nama yang Eropa banget, kan?” Rani sering pamer ke teman-temannya sambil tersenyum malu-malu. Tak lama kemudian, Aksel datang langsung ke Lembah Gading. Membawa diri dengan penuh percaya diri, bahasa tubuh yang meyakinkan, dan logat yang agak dibuat-buat.

Semua orang di kampung menyambutnya dengan rasa penasaran. Jarang-jarang ada orang “Jerman” datang ke kampung mereka.

Tapi sepupu Pak Wirya, Bu Endang—yang dulu pernah tinggal di Berlin selama beberapa tahun—merasa ada yang aneh.

“Dia bilang dari Bremen, tapi waktu kutanya tentang jalan-jalan di Altstadt, dia ngeles. Trus nama tokonya itu aku cari-cari, gak ada di Yogya,” ujar Bu Endang pada Pak Wirya.

Pak Wirya mulai gelisah. Tapi Rani? Ia sudah terlalu jatuh hati. Aksel menjanjikan masa depan: “Kamu akan ku kuliahkan di kampus elit, Ran. Kamu akan jadi istri dokter dan pemilik bisnis roti.”

Terbuai mimpi, Rani nekat mendaftar kuliah swasta yang biayanya fantastis. Ia bahkan menolak tawaran beasiswa dari perguruan tinggi negeri, yang sebenarnya sudah di depan mata.

Namun tak lama setelah Aksel pergi ke Yogya untuk “menyiapkan kuliah dan kontrakan”, kabar darinya menghilang. Ia tak lagi mengangkat telepon. Lalu muncul satu pesan terakhir:

“Sayang, bisakah kamu atau ayahmu pinjamkan aku uang 10 juta dulu? Tokoku kebakaran, dan aku butuh dana cepat. Nanti langsung kukembalikan.”

Tanpa pikir panjang, Rani memaksa ayahnya pinjam sana-sini. Pak Wirya, yang sehari-hari hanya menggantungkan hidup dari ladang singkong, terpaksa menjual kambing terakhirnya.

Setelah itu? Aksel benar-benar lenyap. Seperti roti yang tak pernah dipanggang.

Meski keluarga sudah tahu bahwa mereka ditipu, Rani tetap saja bersikap seolah hidupnya masih mewah. Ia datang ke kampus dengan gaya, unggah foto-foto estetis di Instagram, dan menghindari pembicaraan soal biaya kuliah yang ditanggung darah dan air mata ayahnya.

Bu Endang hanya bisa menggeleng. “Cinta bisa menutup mata, tapi jangan sampai menutup hati nurani juga.”


Photo by Michaela St on Unsplash