Posted in

Bakul Buah dan Luka yang Tak Pernah Lenyap

Bakul Buah dan Luka yang Tak Pernah Lenyap
Bakul Buah dan Luka yang Tak Pernah Lenyap

Tahun 2013.
Aku masih mahasiswa baru di sebuah kota kampus yang sibuk dan penuh semangat. Di masa-masa itu, media sosial ramai membicarakan sosok pengusaha muda asal Tembalang yang viral karena usaha olahan buahnya. Orang-orang memujinya: muda, religius, mandiri, inspiratif. Branding-nya sempurna.

Kami sempat bertemu beberapa kali. Sekilas, dia tampak ramah, hangat. Tidak mencurigakan. Ketika dia membuka cabang baru di area kampusku, aku datang bersama seorang teman—sekadar memberi dukungan, juga karena kami sudah pernah saling kenal.

Di tengah keramaian acara pembukaan itu, dia mendekat dan menyapaku.

“Kosmu deket sini, ya?”

“Iya, deket banget,” jawabku.

“Boleh numpang salat dan mandi?”

Sekilas terdengar wajar. Aku tidak berpikir macam-macam. Dia membawa nama ibadah—siapa yang curiga? Aku mengangguk. “Boleh.”

Kami menuju kosku. Kamar mandi di dalam, jadi aku persilakan dia menggunakan kamar. Aku sendiri pergi ke kamar teman, memberi ruang. Kupikir, dia akan menunaikan salat, mungkin membersihkan diri sebelum kembali sibuk di lapak buahnya.

Tiga puluh menit berlalu.
Aku kembali ke kamar. Perlahan kuketuk pintu, lalu membukanya.

Dia masih duduk di kasur.

Belum salat. Belum mandi.

Aku menatapnya, bingung. “Katanya mau mandi dan salat?”

Dia menatap balik. Tapi sorot matanya berbeda. Tanpa aba-aba, dia mendekat. Tiba-tiba, mencoba menciumku—langsung ke bibir. Seketika aku mundur, terkejut. Lalu dia… memperlihatkan kemaluannya.

Aku membeku.
Antara jijik, marah, dan tidak percaya. Yang keluar dari mulutku hanya,

“Kamu itu tadi bilang mau mandi dan salat…”

Dia tersenyum. Senyum yang tidak bisa kulupakan—dingin, penuh niat buruk.
Lalu, tanpa rasa malu sedikit pun, dia masturbasi di depanku.

Saat itu, aku bangkit.

“Keluar! Sekarang juga!”
Suaraku menggema di ruangan kecil itu. Tanganku gemetar, bukan karena takut—tapi karena rasa jijik yang membakar seluruh dadaku.

Dia akhirnya pergi. Meninggalkan jejak luka yang tak bisa kulupa. Bukan hanya karena tindakannya, tapi karena reaksiku waktu itu—yang terlalu tenang, terlalu bingung untuk menjerit.

Beberapa tahun kemudian, kabar tentangnya semakin redup. Usahanya bangkrut. Terakhir kudengar, dia bikin keributan di almamaternya sendiri, masuk-masuk ke grup mahasiswa baru. Masih haus perhatian, rupanya.

Yang paling kocak? Ternyata bukan cuma aku yang punya cerita.
Seorang temanku pernah pacaran sama dia. Setelah putus, si BakulBuah malah nagih uang kencan. Serius—dari tiket nonton sampai bensin motor.

Aku tertawa getir waktu mendengarnya.
“Lah… berarti kamu dianggap unit bisnis. Dia investornya. Bisnisnya gagal, ya investasi ditarik,” kataku sambil geleng-geleng.

Dan dulu, dia sering bercerita tentang hidupnya yang tragis. Katanya, anak piatu. Katanya, cuma ingin dicintai wanita salihah.
Padahal kenyataannya?
Semua cewek diprospek. Dijual mimpi jadi istri idaman.

Lucu. Sekaligus menjijikkan.

Kadang aku menyesal, kenapa dulu tidak kurekam saja kelakuannya di kamarku. Tapi kemudian kusadar: Tuhan memang tak pernah buta.
Ada karma yang bekerja, pelan, tapi pasti.

Dan aku bersyukur—aku memilih marah. Aku memilih membela diriku sendiri.
Karena dalam dunia yang sering menyalahkan korban, itu sudah lebih dari cukup.


Image by Waldryano from Pixabay