Posted in

Belatung di Bawah Kasur

Belatung di Bawah Kasur
Belatung di Bawah Kasur

Part 1: Aroma Busuk yang Tak Terlihat

Pagi itu hujan baru reda di kota tempat Nara tinggal. Udara masih dingin, embun menempel di kaca depan tokonya—sebuah butik batik modern yang kini sudah punya cabang di lima kota besar. Nara sedang menyusui bayi perempuannya yang baru lahir tiga minggu lalu, sementara anak laki-lakinya yang berumur tiga tahun masih asik bermain lego di ruang keluarga.

Suaminya, Lucas, pria asal Jerman, sedang membersihkan gudang belakang toko karena akhir-akhir ini sering tercium bau aneh dari sana. Tapi pagi ini ada sesuatu yang membuat Lucas mendadak berteriak.

“Nara! Come here, quick!”
Nara bangkit panik, meletakkan bayinya dengan hati-hati di boks kecil sebelum menghampiri.

Di bawah ranjang kayu tua yang mereka simpan di gudang itu, puluhan belatung menggeliat, muncul entah dari mana. Tidak ada bangkai. Tidak ada sisa makanan. Tapi bau busuk menusuk seolah ada yang membusuk secara tidak kasat mata.

“Apa ini…?” gumam Nara, merinding.

Lucas terlihat pucat. “There’s no reason for these worms to be here. I cleaned this spot yesterday. Something is wrong.”

Dan firasat buruk Nara semakin menguat. Sudah beberapa minggu ini Lucas sering mengeluh pusing, susah tidur, bahkan mimpi buruk yang sama setiap malam—didatangi sosok perempuan berambut panjang yang memeluknya erat sampai sesak.

Part 2: Sang Janda

Semua mulai berubah sejak perkenalan tak sengaja itu. Tiga bulan lalu, ada seorang perempuan datang ke toko, mengaku tertarik jadi reseller batik. Namanya Winda, seorang janda dengan satu anak, wajahnya manis, gayanya lembut, tapi ada aura yang tak bisa dijelaskan. Winda cepat sekali akrab, terutama dengan Lucas. Sering kirim makanan, pesan WhatsApp yang makin lama makin genit, bahkan sempat tertangkap oleh Nara mencoba memegang tangan Lucas saat sedang “bercanda”.

“Aku kasihan sama mas Lucas, kelihatan capek banget… Nggak dirawat ya sama istrinya?” ucap Winda saat itu, tersenyum manis namun menyiratkan racun.

Nara menegurnya langsung. Tapi Winda tertawa enteng. Tak gentar. Sebaliknya, ia makin berani. Dan sekarang, entah bagaimana, ada yang terasa aneh setiap kali Lucas melewati kamar. Seperti ada yang mengikutinya.

Part 3: Klaim dan Kebohongan

Suatu hari, teman Nara dari Bandung menelepon.

“Ra, ini aku nemu akun TikTok, cewek namanya Winda juga. Dia bilang punya suami bule, usaha batik nasional, bahkan katanya baru punya anak dua. Lu liat deh kontennya, dia pake footage toko kamu!”

Nara tercekat. Ia buka akun itu, dan benar. Winda, dengan percaya diri dan gaya centil, mengklaim semua usaha Nara sebagai miliknya. Bahkan menyebut Lucas sebagai “buleku sayang yang kerja keras demi aku”.

Marah? Iya. Jijik? Lebih dari itu.

Lucas merasa tertipu. “She’s insane. I never— I didn’t even—”

Nara menarik napas panjang. Ia tahu Winda bukan sekadar wanita biasa. Ia “bule hunter”, mencari pria asing demi status, bukan cinta. Kaya atau miskin bukan soal. Yang penting: bule.

Part 4: Elegan atau Iblis

Nara tak tinggal diam. Ia konsultasi dengan ustaz, dibersihkan rumahnya. Ditemukan banyak tanda-tanda kiriman mistis. Belatung itu hanyalah permukaan.

Tapi yang paling menyedihkan dari semua ini adalah, di saat dirinya sedang rapuh—baru melahirkan, mengurus dua anak, dan menjaga bisnis tetap jalan—masih ada wanita yang tega merebut, bahkan mencederai.

Maka Nara menulis di Instagram-nya:

“Kalau mau jadi bule hunter, setidaknya bersikaplah seperti wanita terhormat. Jangan seperti pemburu yang tak punya harga diri. Jangan kira semua perempuan Indonesia akan diam saat keluarganya dihancurkan. Kami mungkin lembut, tapi bukan lemah.”


Photo by Lidia Stawinska on Unsplash