Posted in

Cinta di Halte Dukuh Atas

Cinta di Halte Dukuh Atas
Cinta di Halte Dukuh Atas

Namanya Rani Zulfina, perempuan Minang kelahiran 1979. Tingginya semampai, tubuhnya langsing, rambutnya lurus dan panjang. Meski tiap hari berjalan kaki dari rusun ke halte busway di bawah sengatan matahari Jakarta, wajahnya tetap kinclong—seolah sinar matahari malah jadi skincare alami buatnya.

Pekerja kantoran di kawasan Jakarta Pusat. Hidupnya datar… sampai pagi itu di tahun 2018.

Ia berdiri di Halte Busway Dukuh Atas, pagi yang sumpek seperti biasa. Dia mengatur napasnya, mencoba menghindari gerombolan pegawai yang tergesa-gesa dan para “karyawan veteran” yang setia dengan koran Kompas edisi cetak.

Tiba-tiba, ada seseorang di sebelahnya—tinggi, berbaju batik kusut tapi senyumnya rapi. Mereka saling melirik, lalu pura-pura cuek. Saat bus datang, mereka sama-sama nyelonong duluan.

Rebutan tempat duduk.

Sikut-sikutan.

Dan… dari situlah semuanya dimulai.

Namanya Eka Prasetyo, duda anak dua yang kerja di kantor pajak. Lucunya, mereka nggak tukar nomor. Tapi takdir punya cara nyeleneh: mereka bertemu lagi dan lagi di halte yang sama. Lalu satu hari, Eka ngajak ngopi di warung belakang kantor. Dari situ, hubungan mereka tumbuh, bukan dari puisi atau rayuan, tapi dari adu argumen: mulai dari cara ngeteh yang bener, sampai perdebatan tentang telur dadar dikasih tomat atau enggak.

Tahun 2019, mereka menikah.

Tetangga di rusun senyum lebar sambil komentar,
“Wah, alhamdulillah ya Mbak Rani akhirnya nikah juga…”
Maksudnya baik. Tapi kok rasanya kayak dia baru dapet bantuan renovasi atap dari pemerintah.

Eka datang ke pernikahan bawa dua anak yang masih canggung. Mereka panggil Rani “Tante” selama enam bulan. Suatu kali, saat nemenin Eka ke kantor pajak, salah satu anak bilang, “Tante, aku lapar.”

Refleks Rani menjawab, “Iya, Nak. Tante masukin ke oven dulu ya rotinya.”
Semua orang di antrean pajak melirik. Rani cuma bisa nyengir dan pura-pura baca pengumuman pajak progresif.

Rumah tangga mereka… unik.

Minggu pagi: berantem soal pasta gigi ditekan dari tengah.
Siangnya: baikan karena sama-sama makan Indomie kari ayam.
Malamnya: berantem lagi rebutan remote TV.

Tapi ada hal-hal kecil yang lucu.

Rani pernah niat masak rendang spesial. Dagingnya empuk, bumbunya medok. Tapi lupa kalau tinggal di rusun—sirkulasi udara bukan seperti di rumah tapak. Masak sambil buka pintu, dan dalam lima menit, tetangga kanan-kiri udah ngumpul, bawa piring kosong.

Di kantor, Rani dikenal kalem dan elegan. Tapi di grup WhatsApp keluarga, dia legenda hidup. Pernah pagi-pagi buta, pas sahur, tanpa sadar kirim stiker:
“Astaghfirullah jalannya bang Toyib”
…ke ibu mertuanya.

Yang bikin keringat dingin? Ibunya bales cuma:
“Hehe. Lucu.”

Pernah juga ulang tahun pernikahan pertama, Eka ngasih buket. Tapi bukan bunga. Isinya cilok. Dengan catatan:
“Biar kenangan kita bisa dikunyah tiap hari.”

Rani cuma bisa bengong. Lalu ketawa. Lalu peluk suaminya sambil mikir:
“Gue sebenernya nikah sama siapa sih…”

Tapi cinta, seperti rendang buatan Rani, butuh waktu lama buat matang.
Nggak sempurna. Tapi aromanya… bikin betah pulang.

Dan kalau kamu sekarang lagi sendirian, jangan kecil hati.
Mungkin jodohmu bukan nyasar.
Cuma lagi muter…

…cari parkir. 🚗


Photo by Mayur Gala on Unsplash