Posted in

Di Antara Dua Bayang

Di Antara Dua Bayang
Di Antara Dua Bayang

Namanya Nadira, seorang perempuan yang sejak awal pernikahan hidupnya tak pernah lepas dari ujian. Ia menikah muda dengan pria bernama Novan. Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki. Namun, karena kondisi ekonomi Nadira yang saat itu hanya bekerja sebagai karyawan swasta, sementara Novan sudah mapan dan memiliki bisnis keluarga, hak asuh anak jatuh kepada sang mantan suami.

Setahun setelah perceraian, Nadira menikah kembali. Kali ini dengan seorang duda bernama Yuda, yang memiliki dua anak dari pernikahan sebelumnya. Meski awalnya Nadira merasa ragu, ia meyakinkan diri bahwa semua orang pantas mendapat kesempatan kedua untuk bahagia.

Bisnis Yuda saat itu sedang melejit. Mereka hidup berkecukupan, tidak mewah tapi cukup. Namun kebahagiaan itu hanya berlangsung dua tahun. Nadira mendapati Yuda berselingkuh. Hatinya hancur, kepercayaan terkoyak. Mereka nyaris bercerai, tapi karena rayuan keluarga dan karena mereka telah dikaruniai seorang anak perempuan, Nadira bertahan. Ia pikir, semua bisa diperbaiki seiring waktu.

Namun takdir berkata lain. Setelah ketahuan selingkuh, bisnis Yuda justru runtuh. Hutang menumpuk, usahanya bangkrut. Kini Nadira yang menopang kehidupan keluarga dari gaji pas-pasan sebagai admin kantor. Ia harus pintar mengatur segalanya agar cukup untuk makan, sewa kontrakan, dan kebutuhan anak mereka.

Di tengah perjuangan itu, muncul luka baru. Mantan istri Yuda menyebarkan cerita buruk tentangnya, menuduh Nadira sebagai penyebab suaminya tak lagi menafkahi anak-anak dari pernikahan sebelumnya. Katanya, semua uang Yuda kini dipegang Nadira, dan dia lebih mementingkan anak tirinya daripada anak kandung. Padahal kenyataannya, Nadira bahkan harus mengencangkan ikat pinggang demi menghidupi rumah tangganya.

Nadira hanya bisa menangis dalam diam. Yang paling membuatnya terpukul bukan hanya tuduhan, tapi cibiran tetangga setiap kali ia mengunjungi rumah mertuanya—karena ternyata mantan istri Yuda tinggal di dekat sana.

“Saya sakit hati,” katanya lirih suatu malam, “bukan karena mereka tidak tahu kebenaran, tapi karena mereka tidak mau tahu.”

Malam-malam itu, Nadira hanya bisa menatap anaknya yang tertidur, memohon dalam hati agar kelak sang anak tidak merasakan luka yang sama. Ia tahu, hidup tidak adil, tapi ia juga tahu: ia tetap harus kuat.


Photo by Deon Black on Unsplash