Posted in

Laras, Apa Kamu Sehat?

Laras, Apa Kamu Sehat?
Laras, Apa Kamu Sehat?

Laras menikah pada tahun 2017. Ia percaya rumah tangga adalah tempat berteduh, tempat dua orang saling jaga, saling lindungi. Tapi hidup punya caranya sendiri untuk menguji keteguhan seseorang.

Beberapa tahun kemudian, Laras mendapati kenyataan pahit: suaminya berselingkuh, bahkan sampai menghamili perempuan lain. Bukan hanya pengkhianatan, tapi juga tekanan: ia dipaksa menerima poligami. Laras menolak. Bukan karena takut sendiri, tapi karena ia tahu harga dirinya bukan untuk ditawar.

Ditalak di tahun 2023, cerai resmi di negara tahun 2025. Tapi luka itu tidak menunggu legalitas. Luka itu datang cepat—mengoyak malam-malamnya, menghancurkan siangnya. Laras bergelut dengan tremor, kehilangan tidur, kehilangan semangat. Ia menangis bahkan saat hanya disapa, ditanya kabar pun air matanya jatuh. Tubuhnya hadir, tapi jiwanya tercecer entah di mana.

Yang lebih menyakitkan, semua orang fokus ke satu hal: siapa pelakornya?
Cantik tidak?
Pekerjaannya apa?
Kenapa mau sama suami orang?

Tak satu pun yang bertanya:

“Laras, kamu gimana? Sehat?”

Tak ada yang peduli bagaimana ia dihantam rasa malu, ditinggal, disalahkan, dituduh “istri tidak patuh” hanya karena menolak resign dari PNS. Tak ada yang lihat betapa ia bertahan, justru dituduh playing victim.

Yang membuat Laras benar-benar hancur adalah ketika keluarga perempuan itu mengirim ancaman hukum—seolah mereka korban, padahal Laras-lah yang ditinggal luka. Masyarakat lebih tertarik mencari-cari kesalahan Laras sebagai istri, dibanding memeluknya sebagai korban.

Dan ketika akhirnya ia memilih bercerai, Laras bukan dipuji karena keberanian. Ia malah dihina. “Bodoh,” kata mereka. “Kalah dari pelakor,” kata yang lain. Padahal Laras tidak kalah—ia hanya terlalu waras untuk berebut laki-laki.

Di dunia ini, ketika laki-laki selingkuh, masyarakat masih bisa bilang, “Mungkin istrinya kurang ini… kurang itu…”
Tapi ketika perempuan berkata cukup, ia dianggap menyerah. Padahal, kadang pergi adalah bentuk tertinggi dari mencintai diri sendiri.

Laras pernah ingin mati. Tapi ia memilih hidup. Luka itu belum hilang, tapi Laras tetap berdiri. Dan kelak, bila ada perempuan lain yang dilukai, Laras ingin menjadi suara yang hadir dengan pelan dan tulus:

“Kamu bukan penyebab. Kamu bukan aib. Kamu sedang luka. Dan kamu pantas sembuh, pantas bahagia, tanpa harus dimengerti oleh mereka yang sibuk menyalahkan.”


Photo by Kelly Sikkema on Unsplash