Posted in

Ujung Janji yang Tumpul

Ujung Janji yang Tumpul
Ujung Janji yang Tumpul

Namanya Rayyan. Tiga tahun lalu, tepat di penghujung 2021, ia menyampaikan kabar besar di meja makan rumah kami yang kecil tapi hangat. Katanya, dia memutuskan melanjutkan kuliah magister di salah satu universitas swasta ternama di ibukota.

Aku, Nayla, istrinya, begitu senang. Rayyan bukan tipe yang mudah terdorong arus, jadi saat dia memutuskan melanjutkan studi, aku yakin itu adalah pilihan sadar. Apalagi katanya ini untuk menunjang kariernya—dan mungkin, diam-diam aku membatin, supaya aku makin bangga memilikinya.

Karena jujur saja, aku ini si tukang mimpi akademik. Dulu waktu SMA, kalau ditanya mau nikah sama siapa, jawabanku selalu: “Yang cinta ilmu.” Aku suka diskusi panjang, analisis, dan kalimat-kalimat dengan footnote. Jadi ketika Rayyan—suamiku sendiri—mengambil langkah besar itu, aku bahagia luar biasa. Kupikir, doaku terkabul. Akhirnya, pasangan belajar. Pasangan yang bisa kuajak diskusi jurnal, debat isu publik, atau minimal… saling koreksi daftar pustaka.

Semester awal terasa manis. Kelas masih daring, Rayyan suka bercerita soal dosen favoritnya dan kadang aku ikut duduk mendengarkan Zoom sambil lipat baju. Kadang aku terpikir, “Wah, kami ini pasangan akademik ya sekarang.”

Tapi semua berubah saat masuk semester empat.

Saat itu, mestinya sudah mulai nyusun tesis. Tapi tak ada satu pun paragraf tercipta. Katanya sibuk. Aku percaya. Kerjaannya memang berat, dan aku tahu dia pulang kerja bisa lelah sekali. Tapi waktu berlalu dan tak ada satu huruf pun terketik. Semester lima? Sama. Semester enam? Lebih parah. Kali ini tak ada alasan, hanya gumaman “nanti aja dipikirin.”

Aku pernah coba bantu. Memberi daftar topik, menyusun kemungkinan kerangka, bahkan mencari dosen pembimbing yang katanya enak diajak ngobrol. Tapi usahaku mental. Katanya belum waktunya. Katanya nanti aja.

Sementara itu, Rayyan tetap hidup seperti biasa. Pulang kerja sambil pegang vape dan scroll ponsel. Weekend? Lebih banyak tidur. Sibuk? Entah bagian mana yang sibuk, karena bahkan duduk lima menit untuk baca jurnal pun tak pernah.

Aku marah. Aku kecewa. Aku protes. Aku sindir. Aku nangis. Aku teriak. Lalu akhirnya, aku diam.

Karena ternyata, suamiku tidak sedang dalam perjalanan menuju impian yang sama denganku. Dia tidak sedang memperjuangkan akademik karena cinta belajar, tapi karena ikut-ikutan teman. Dia tidak sedang berlari ke tujuan, dia hanya menempel dalam bayangan harapanku.

Lebih parahnya lagi, suatu hari dia berkata, “Kalau mau cepat selesai, kamu aja yang ngerjain.” Sejak itu, bagian dari diriku mati. Bagian yang pernah percaya bahwa dia berkomitmen. Bahwa dia punya ambisi. Bahwa aku dan dia ada dalam satu tim.

Lucunya, dulu Rayyan pernah juga seperti ini. S1-nya sempat mangkrak. Tapi waktu itu, dia mengejarnya habis-habisan karena ingin membuktikan diri padaku. Dia bilang, “Kamu alasan aku lulus.” Ternyata benar. Hanya karena ingin dekatku, bukan karena ingin belajar.

Sekarang? Alasannya sudah tidak cukup kuat. Aku sudah ada di sini, di sampingnya. Jadi untuk apa lagi usaha?

Maka hari ini, setelah 8 semester tanpa tesis, aku membuat keputusan sendiri. Bukan dia yang di-DO kampus. Tapi aku yang mengeluarkan diri dari mimpi yang ternyata hanya milikku. Bukan milik kami.

Aku akan memperlakukannya sebagaimana dia ingin diperlakukan: seolah tak pernah janji. Seolah tak pernah memulai.

Aku akan menganggap dia sudah di-DO saja.


Photo by Siora Photography on Unsplash